23 Juli 2008

Hukuman Mati untuk Koruptor

Relevan dan urgenkah hukuman mati dikenakan terhadap terpidana kasus-kasus korupsi? Mengingat fenomena korupsi di negeri kita sudah demikian memprihatinkan, hukuman mati tampaknya memang merupakan pilihan. Sanksi hukuman mati terasa menjadi kebutuhan. Sanksi tersebut bisa diharapkan menjadi obat mujarab untuk memberantas korupsi secara tuntas.

Di beberapa negara, sanksi hukuman mati terbukti ampuh menurunkan praktik korupsi. Di China, misalnya, korupsi bisa ditekan secara signifikan sejak pemerintah negeri tirai bambu itu menerapkan sanksi hukuman mati secara konsisten dan konsekuen. Mereka yang terbukti di pengadilan melakukan korupsi, tanpa ampun digiring ke tiang gantungan. Bahkan shock theraphy juga digelar sejak proses pengadilan masih berlangsung. Selama persidangan, konon, peti mati sudah disiapkan untuk terpidana korupsi.

Di negeri kita sendiri, tindak korupsi sekarang ini sudah sampai tahap kronis. Praktik korupsi sudah menyebar ke mana-mana. Di pusat maupun di daerah sama saja. Sama-sama digerayangi korupsi.

Praktik korupsi juga sudah melibatkan siapa saja. Swasta ataupun pemerintah, pegawai rendahan maupun pejabat tinggi, sami mawon. Sama-sama banyak terlibat praktik korupsi.

Ibarat penyakit, korupsi di negeri kita bukan lagi sekadar menimbulkan borok bernanah, melainkan juga sudah mulai melumpuhkan sistem syaraf. Orang terkesan tak ragu dan tak malu lagi berbuat korupsi. Tindakan tersebut seolah sudah dianggap jamak atau lumrah. Bahkan korupsi seolah telah menjadi gaya hidup.

Jadi, hukuman mati amat relevan diterapkan terhadap kasus-kasus korupsi. Juga urgen, karena perbuatan korupsi amat destruktif. Negara maupun rakyat telak-telak dirugikan
oleh praktik korupsi ini. Korupsi bukan saja memanipulasi hitung-hitungan ekonomi, melainkan juga menjungkirbalikkan asas transparansi dan fairness.

Hukuman mati juga urgen diterapkan karena sanksi kurungan badan tak lagi menimbulkan efek jera. Orang sudah tidak miris lagi terhadap risiko masuk bui karena perkara korupsi. Ancaman kurungan badan sudah dianggap sepi. Dianggap angin lalu.

Ancaman penjara kini tak efektif berfungsi membendung orang berbuat korupsi. Orang terkesan beranggapan bahwa dipenjara karena perkara korupsi sekadar risiko sedang sial. Sial karena perbuatan korupsi yang mereka lakukan terbongkar. Juga sial karena majelis hakim gagal diyakinkan agar membebaskan mereka dari segala tuduhan korupsi.

Secara hukum, sanksi pidana mati terhadap pelaku kasus-kasus korupsi ini juga punya pijakan. Seperti kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Marwan Effendy, pijakan itu adalah pasal 2 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diganti menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal itu menyebutkan, hukuman mati dijatuhkan terhadap koruptor yang melakukan korupsi dalam keadaan tertentu. Yaitu mengorupsi dana untuk penanggulangan bencana nasional, penanganan akibat kerusuhan sosial, dan penanggulangan dampak krisis moneter.

Jadi, dari sisi pranata hukum, sanksi pidana mati bagi pelaku kasus-kasus korupsi sama sekali bukan masalah. Artinya, ihwal penerapan sanksi hukuman mati terhadap koruptor ini bukan lagi sekadar tema wacana. Sanksi tersebut jelas-jelas hanya tinggal diterapkan.

Bahwa lingkup hukuman mati tersebut amat terbatas -- tidak meliputi segala bentuk tindakan korupsi -- barangkali itu belum terlalu urgen. Jika sekadar berharap menumbuhkan efek jera, pasal tentang hukuman mati yang diatur UU Tindak Pidana Korupsi sudah cukup bisa diharapkan.

Tapi pasal itu niscaya hanya akan menjadi macan ompong jika sikap institusi pengadilan tidak berubah, yaitu cenderung lembek dalam menghukum koruptor sebagaimana hasil telaahan Indonesia Corruption Watch (ICW). Bahkan, menurut ICW, selama ini putusan-putusan pengadilan justru lebih mengutungkan koruptor!

Jadi, soal hukuman mati ini amat bergantung pada kemauan jaksa dan hakim. Adakah?
Jakarta, 23 Juli 2008