24 Juni 2008

Struktur Ekspor Nasional Payah

Kinerja ekspor nonmigas cenderung melemah. Terutama dari sisi volume, ekspor kita terkondisi menurun. Pemerintah beralasan, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) merupakan faktor penyebab penurunan ekspor nonmigas ini.

Kenaikan harga BBM memang berdampak meningkatkan ongkos produksi. Implikasinya, harga jual produk jadi meningkat. Dengan harga jual yang meningkat, masuk akal jika daya serap pasar ekspor pun jadi menurun. Permintaan melemah.

Kecenderungan itu pula yang diperkirakan membuat target pertumbuhan ekspor kita secara keseluruhan sebesar 14,5 persen pada tahun ini sulit bisa dicapai. Ekspor kita kemungkinan hanya mampu tumbuh 12,5 persen.

Lepas dari apakah realistis atau tidak, angka proyeksi pertumbuhan ekspor sebesar 12,5 persen itu sendiri relatif tinggi. Terlebih jika mengingat bahwa pasar ekspor sendiri sedang tidak kondusif. Akibat krisis keuangan di AS dan gejolak harga minyak maupun harga komoditas pangan di pasar dunia, pasar ekspor kini condong lesu.

Jadi, kinerja ekspor kita yang cenderung melemah sekarang ini tak terlampau merisaukan. Tetapi tetap saja itu kembali menyadarkan kita tentang kelemahan struktur ekspor nonmigas nasional. Pertama, tujuan ekspor kita masih saja terpaku ke pasar AS, Uni Eropa, dan Jepang. Wilayah-wilayah ekonomi di luar itu nyaris tak menjadi orientasi ekspor kita.

Padahal, seiring dinamika bisnis global, wilayah-wilayah ekonomi di luar AS, Uni Eropa, dan Jepang makin menjanjikan sebagai alternatif pasar ekspor. Sebut saja kawasan Eropa Timur, Afrika, juga Timur Tengah.

Toh kita sedikit sekali tergerak menggarap pasar alternatif ekspor itu. Langkah ke arah diversifikasi pasar ekspor sedikit sekali kita lakukan. Padahal berbagai studi maupun eksebisi menyimpulkan betapa diversifikasi pasar ekspor ini amat memungkinkan kita lakukan.

Tak jelas, kenapa ekspor kita terus saja bergantung terhadap pasar AS, Uni Eropa, dan Jepang. Yang pasti, ketergantungan itu jelas berisiko. Seperti sekarang ini, kelesuan ekonomi yang melanda AS maupun Uni Eropa akibat gejolak harga minyak dan komoditas pangan serta-merta berimbas terhadap kinerja ekspor kita.

Kedua, ekspor kita relatif sedikit berbasis pada agroindustri. Ekspor nasional banyak bertumpu pada industri manufaktur yang justru amat mengandalkan bahan baku ataupun bahan penolong eks impor. Ini membuat geliat industri manufaktur nasional rentan terhadap gejolak kurs ataupun harga bahan baku/bahan penolong. Depresiasi dolar terhadap rupiah, misalnya, berdampak menciutkan nilai ekspor. Sebaliknya apresiasi dolar berakibat melambungkan impor bahan baku/bahan penolong.

Ketiga, ekspor komoditas pertanian/perkebunan maupun pertambangan cenderung dilakukan dalam bentuk bahan mentah ataupun bahan setengah jadi. Akibatnya, kita sedikit sekali bisa menikmati nilai tambah masing-masing komoditas. Padahal, makin jauh diolah, nilai tambah komoditas semakin tinggi. Artinya, devisa ekspor yang kita raup pun jelas jauh lebih besar.

Dalam konteks itu, dunia agroindustri kita cenderung berhenti pada simpul-simpul tertentu. Tidak sampai menyeruak jauh ke hilir. Hasil perkebunan kepala sawit, misalnya, cukup diekspor dalam bentuk minyak sawit mentah (CPO). Padahal CPO masih bisa diolah lebih jauh menjadi aneka produk turunan yang jauh memiliki nilai lebih.

Karena itu pula, gejolak harga sejumlah komoditas pertambangan/perkebunan sekarang ini relatif tak optimal menjadi berkah bagi ekonomi kita. Gejolak itu tidak menjadi sumber pemasukan devisa yang melimpah-ruah sebagaimana seharusnya kalau saja agroindustri kita jauh masuk ke hilir.

Berbagai kelemahan menyangkut ekspor nonmigas kita ini sebenarnya sudah diketahui sejak lama. Berbagai aspek kelemahan itu sudah gamblang kita kenali. Tetapi toh kita nyaris tak melakukan perbaikan. Sudah menjadi penyakit kita: tak pernah serius melakukan perubahan ke arah lebih baik!

Jadi, kapan kelemahan struktur ekspor nasional ini diperbaiki?
Jakarta, 24 Juni 2008