28 Desember 2014

Risiko Low Cost Carrier

Terlepas dari apa yang menjadi penyebab pesawat AirAsia QZ 8501 hilang kontak dalam penerbangan Surabaya-Singapura, kemarin, musibah tersebut serta-merta menggugah kesadaran bahwa maskapai penerbangan berharga tiket murah (low cost carrier) sarat risiko. Itu ditunjukkan oleh fakta bahwa sederet kasus kecelakaan dalam dunia penerbangan nasional selama beberapa tahun terakhir melibatkan low cost carrier.

Tingginya risiko low cost carrier ini tak terhindarkan karena biaya operasional mereka tekan habis-habisan. Bagi mereka, strategi tersebut tak bisa ditawar-tawar lagi. Jika tidak, mereka tak akan pernah sanggup masuk pasar sebagai low cost carrier.

Biaya operasional yang ditekan habis-habisan itu meliputi banyak aspek. Pesawat uzur, misalnya, lazim disewa karena memang murah. Lalu  perawatan pesawat relatif longgar, penggantian suku cadang dilakukan secara kanibal, juga pelayanan di atas kabin tanpa sajian konsumsi. Pokoknya, efisiensi ekstra ketat dilakukan di segala lini.

Di sisi lain, operasional penerbangan low cost carrier ini justru benar-benar digenjot. Laiknya angkutan kota kejar setoran, frekuensi maupun rute penerbangan mereka sangat padat.

Untuk itu, regulasi pun tak segan mereka tabrak. Ketentuan tentang jam terbang pilot ataupun pesawat, misalnya, cenderung diabaikan. Kelengkapan peralatan pesawat selama mengudara juga bisa di bawah standar.

Kenyataan itu, tak bisa tidak, membuat keselamatan penerbangan penerbangan low cost carrier ini menjadi sangat berisiko. Terlebih, seperti sudah disinggung, fakta tentang serangkaian musibah penerbangan low cost carrier sudah memberi pembenaran tentang itu.

Itu pula yang beberapa tahun lalu menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat kecelakaan penerbangan terbilang tinggi: mulai dari terjatuh (crash) hingga sekadar tergelincir di landasan. Persentase kecelakaan pesawat Indonesia pernah mencapai 1,3 persen. Itu jauh di atas ambang ideal sebesar 0,35 persen.

Boleh jadi, angka itu sudah berubah menjadi membaik. Paling tidak, karena beberapa maskapai penerbangan secara bertahap mulai meninggalkan strategi low cost. Sebuah maskapai yang terbilang agresif sebagai low cost carrier, misalnya, beberapa waktu lalu memesan seratus pesawat baru kepada pabrikan guna memperkuat armada mereka.

Meski begitu, secara keseluruhan praktik low cost carrier ini tetap marak. Gambaran tentang itu gamblang tecermin dari suasana berbagai bandara di dalam negeri yang begitu hiruk-pikuk bak pasar malam. Tak terkecuali Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten, praktis tak lagi mampu tampil sebagai pintu gerbang Indonesia akibat padatnya pengguna jasa penerbangan ini -- notabene disumbang oleh keberadaan sejumlah masakapai yang menerapkan strategi low cost.

Selain itu, praktik low cost carrier ini juga sangat memukul
industri jasa angkutan bus. Sejumlah perusahaan otobus yang melayani rute jarak jauh (antarprovinsi) kini megap-megap -- bahkan sebagian sudah gulung tikar -- karena kalah bersaing oleh jasa maskapai bertarif murah ini.

Kenyataan itu menegaskan bahwa industri penerbangan di dalam negeri harus ditata ulang. Di satu sisi, industri penerbangan tak boleh dibiarkan mematikan industri angkutan bus antarprovinsi. Di sisi lain, aspek keselamatan penerbangan -- terutama maskapai yang menerapkan strategi low cost -- perlu dibuat benar-benar terjamin.

Untuk itu, audit penyelenggaraan low cost carrier beralasan dilakukan.***

Jakarta, 28 Desember 2014