23 Desember 2014

Siap dan Sigap Menghadapi Bencana

Pernyataan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), bahwa puncak musim hujan diperkirakan Januari dan Februari 2015, harus segera disikapi secara serius oleh para pemangku kebijakan. Pengalaman menunjukkan, puncak musim hujan indentik dengan bencana banjir dan tanah longsor. Bahkan, sebagaimana tecermin dalam kasus Banjarnegara, alam sudah memberi sinyal bahwa bencana banjir atau tanah longsor tidak melulu bisa terjadi saat puncak musim hujan.

Karena itu, sejak sekarang para pemangku kebijakan harus sudah mulai menyiapkan program menyeluruh di bidang kebencanaan: mulai dari deteksi dini, pencegahan, tanggap darurat, hingga rehabilisasi. Dengan demikian, manakala bencana alam menerpa seiring musim hujan, mereka tak harus tergagap-gagap seperti selama ini.

Sikap tidak siap para pemangku kebijakan menghadapi bencana alam acap melahirkan tindakan-tindakan tidak patut. Selain lamban, tindakan mereka juga serba instan dan parsial. Akibatnya, bencana melahirkan risiko besar dan kepedihan mendalam. Sekian banyak orang sengsara. Bahkan kadang tak sedikit pula orang  tewas sia-sia. Kerugian harta benda juga bisa sangat besar.

Risiko seperti itu jelas tak harus terjadi kalau saja para pemangku kebijakan siap dan sigap menghadapi bencana alam. Artinya, mereka melek mitigasi bencana sehingga juga sejak jauh hari sudah menyiapkan program-program siaga bencana.

Dengan itu, risiko bencana -- entah menyangkut keselamatan manusia ataupun kerugian material -- bisa diminimalisasi. Ibu kota Jakarta, misalnya, tetap tergenang banjir. Tetapi dengan program persiapan menyeluruh untuk menghadapi bencana alam, jumlah titik genangan bisa diharapkan tak kelewat banyak. Genangan juga tak sampai berlama-lama.

Para pemangku kebijakan memang harus melek mitigasi. Mereka mutlak harus menahami rangkaian kegiatan untuk meminimalisasi risiko bencana, baik jiwa maupun materi.

Untuk itu, mereka tak harus menempuh pendidikan khusus. Mereka cukup mempelajari dengan baik UU Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang tersebut memberi panduan rinci tentang langkah-langkah yang harus dilakukan sejak sebelum bencana, saat tanggap darurat, dan saat pascabencana.

Jadi, menghadapi musim hujan kali ini, para pemangku kebijakan seharusnya tak beralasan lagi gugup atau apalagi gagap menghadapi bencana banjir atau tanah longsor. Mereka tak boleh sampai tetap tidak paham atau alpa mitigasi bencana alam.

Tak boleh dilupakan bahwa mitigasi termasuk mengedukasi masyarakat luas agar juga siap dan sigap menghadapi bencana alam. Selama ini, kegiatan tersebut seperti tak pernah masuk agenda pemerintah. Boleh jadi, itu karena para pemangku kebijakan sendiri alpa atau tak mengerti mitigasi bencana.

Mengedukasi masyarakat mengenai bencana alam ini sangat penting. Edukasi memungkinkan korban jiwa, terutama, bisa dihindarkan berjumlah banyak. Karena itu, kegiatan tersebut tak boleh dianggap remeh. Edukasi masyarakat wajib diselenggarakan negara.

Namun anggaran untuk itu bisa dipastikan morat-marit. Sebasb total anggaran penanggulangan bencana dalam APBN 2014 hanya sebesar Rp 1 triliun. Anggaran tersebut terlampau kecil dibanding risiko bencana yang bisa terjadi.

Karena itu pula, program edukasi mitigasi bencana bagi masyarakat luas pun sulit diharapkan mendapat porsi besar. Dana APBN niscaya lebih banyak tersedot untuk tanggap darurat dan penanganan pascabencana. 
 
Bagi negeri sarat bencana alam seperti Indonesia, seharusnya alokasi anggaran penanggulangan bencana mendapat perhatian khusus -- tidak ecek-ecek alias sekadarnya saja.***

Jakarta, 23 Desember 2014