03 Desember 2014

Korupsi Masih Menjadi Kanker Stadium Lanjut

Perbaikan indeks korupsi Indonesia dalam kancah global, yang kemarin dipublikasikan Transparency International, jelas melegakan. Skor Indonesia dalam masalah korupsi naik 2 poin menjadi 34 dibanding tahun lalu. Skor 0 berarti terkorup dan skor 100 tebersih.

Dengan itu, indeks korupsi Indonesia membaik dari 114 pada tahun lalu menjadi 107 tahun ini. Artinya, posisi Indonesia dalam urusan korupsi berada di peringkat 107 -- bersama-sama dengan Argentina dan Djibouti.

Posisi Indonesia masih jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Filipina, Thailand, Malaysia, ataupun Singapura. Sementara negara-negara yang dinilai paling bersih adalah Denmark, Selandia Baru, Finlandia, Swedia, dan Norwegia. Jerman berada di peringkat 12, Jepang 15, dan Amerika Serikat 17.

Total negara yang diperiksa soal indeks persepsi korupsi ini adalah 174. Itu berarti, korupsi di Indonesia masih tetap merupakan masalah memrihatinkan dibanding di sejumlah negara yang dipantau Transparency International. Korupsi di Indonesia masih serius menjadi kanker yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tanpa mengurangi apresiasi terhadap upaya berbagai pihak selama ini, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kenyataan itu menunjukkan bahwa perang melawan korupsi relatif masih sedikit membuahkan hasil. Artinya, penyakit korupsi di Indonesia tetap terbilang sangat akut. Ibarat tanaman, korupsi di Indonesia sudah berurat-berakar sekaligus beranak-pinak.

Dalam kondisi seperti itu, secara terang-terangan ataupun tidak, secara halus ataupun kasar, gerakan pembarantasan korupsi sendiri mengalami perlawanan. Institusi KPK, misalnya, coba digembosi -- antara lain dengan merevisi perundangan, kriminalisasi pimpinan, atau penarikan tenaga penyidik.

Boleh jadi juga, korupsi di Indonesia masih saja merupakan kanker stadium lanjut karena pemerintah selama ini terbilang lembek dalam memeranginya. Itu, antara lain, tecermin dari obral remisi terhadap terpidana kasus korupsi. Belum lagi mereka juga diberi  perlakukan-perlakukan istimewa, seperti bebas menikmati kemewahan selama dalam tahanan -- bahkan bisa mengikuti pendidikan pascasarjana!

Perang melawan korupsi bukan cuma harus solid melibatkan berbagai elemen bangsa, juga menuntut komitmen politik secara penuh -- tak bisa setengah hati. Untuk itu, strategi radikal harus dianut. Misalkan, terpidana kasus korupsi tidak diberi hak remisi alias pengurangan hukuman. Hak mereka berpolitik juga dicabut sepanjang hayat, sementara secara sosial mereka dimiskinkan. Jika memungkinkan, terpidana kasus korupsi ini juga dikenai hukuman mati.

Pokoknya, terutama di sisi penindakan, perang melawan korupsi harus benar-benar menimbulkan efek jera. Selama efek hera tak bisa tercipta, selama itu pula korupsi cenderung tidak dipandang sebagai tindakan hina, haram, dan mengerikan. Bisa-bisa, laiknya judi, korupsi lebih dipandang sebagai soal peruntungan: kalau terbongkar, ya itu sekadar nasib sial yang tak perlu disesali.

Secara keseluruhan, perang melawan korupsi ini menuntut tata kelola pemerintahan yang baik konsisten dan konsekuen diterapkan. Sejumlah studi sudah menunjukkan bahwa antara korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik terdapat hubungan timbal balik. Negara dengan tata kelola pemerintahan baik cenderung kecil dijangkiti penyakit korupsi. Sebaliknya, di negara dengan tingkat korupsi tinggi, kondisi tata kelola pemerintahan buruk.

Jadi, jangan perlakukan tata kelola pemerintahan sekadar basa-basi atau ajang pencitraan yang serba semu.***

Jakarta, 3 Desember 2014