19 Desember 2014

Perselingkuhan di Kalangan Hakim

Hakim adalah wakil Tuhan di bumi dalam urusan penegakan keadilan. Perumpamaan tersebut menunjukkan bahwa hakim harus menjunjung tinggi-tinggi moralitas.

Tanpa moral tinggi, hakim sungguh tak bisa diharapkan bisa menegakkan keadilan. Bahkan, boleh jadi, hakim justru meruntuhkan keadilan. Bisa-bisa keadilan diperlakukan sebagai komoditas yang dipermainkan sesuka hakim.

Jadi, bagi hakim, moralitas tinggi adalah soal mutlak. Dengan moralitas tinggi, integritas profesional hakim bisa terjaga baik. Dengan itu pula, hakim sebagai bagian lembaga peradilan benar-benar menjadi sandaran pencari keadilan.

Namun dalam realitas kehidupan sehari-hari kita di Indonesia sekarang ini, moralitas hakim sungguh memrihatinkan. Berderet kasus perselingkuhan seksual yang dilakukan oknum hakim adalah gambaran terang-benderang tentang itu.

Entah sudah berapa banyak hakim yang telak-telak terbongkar melakukan perselingkuhan seksual ini. Entah sudah berapa banyak pula hakim yang terbukti selingkuh dikenai sanksi pemecatan oleh Majelis Kehormatan Hakim yang terdiri dari unsur Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Meski begitu, toh kasus hakim yang terlibat perselingkuhan seksual  ini terus saja terjadi. Mereka seolah tidak takut bahwa tindakan tersebut bukan cuma tercela secara moral dan etik, melainkan juga berisiko menghancurkan karier mereka.

Perselingkuhan seksual merupakan bukti bahwa integritas hakim (juga profesi lain) sudah menguap entah ke mana. Moralitas hakim sudah hancur lebur. Itu berarti, perumpamaan bahwa hakim adalah wakil Tuhan di bumi dalam urusan penegakan keadilan sudah runtuh.

Sederhana saja: kalau sudah berselingkuh dalam urusan ranjang, maka dalam urusan penegakan peradilan pun hakim tak akan segan-segan berselingkuh pula. Dia tidak akan ragu dan tidak akan  malu menyelingkuhi pencari keadilan. Dia memperlakukan keadilan tak lebih sebagai komoditas.

Kecenderungan itu sungguh merisaukan -- karena menjadi ancaman serius bagi tertib hukum maupun sosial. Manakala moralitas hakim sudah porak-poranda, kehidupan bersama niscaya menjadi kacau.

Karena itu, tindak perselingkuhan seksual di kalangan hakim tak bisa dipandang sebagai masalah remeh -- seolah sekadar fenomena sosial. Tindak perselingkuhan di kalangan hakim ini harus dibaca sebagai tanda-tanda keruntuhan tatanan hukum. Sebagai tanda-tanda kehancuran keadilan dalam kehidupan bersama sebagai masyarakat maupun sebagai bangsa.

Walhasil, fenomena itu harus mendapat perhatian serius pihak-pihak terkait. Terutama pihak-pihak berkompeten, seperti Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, harus menjadikan tindak perselingkuhan seksual di kalangan hakim ini sebagai prioritas pembenahan. Jika tidak, itu tadi, keadilan niscaya menguap. Hakim pun bukan lagi wakil Tuhan di bumi dalam urusan penegakan keadilan.***

Jakarta, 19 Desember 2014