15 Desember 2014

Aklamasi sebagai Proses Demokrasi

Setelah Aburizal Bakrie dalam Munas IX Partai Golkar di Nusa Dua, Bali, belum lama ini, tampaknya Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono juga akan terpilih secara aklamasi masing-masing sebagai orang nomor satu di PDIP dan Partai Demokrat. Kedua partai tersebut dalam waktu dekat ini menggelar perhelatan akbar berupa munas yang antara lain akan memilih ketua umum dan kepengurusan baru.

Dalam forum itulah Megawati dan Yudhoyono kemungkinan besar terpilih secara aklamasi untuk tetap memimpin partai masing-masing dalam periode kepengurusan lima tahun ke depan. Tanda-tanda ke arah itu, antara lain, terbaca dari keengganan orang untuk maju mencalonkan diri guna merebut posisi orang nomor satu di partai. Mereka enggan maju karena sadar betul bahwa dukungan terhadap Megawati di PDIP dan Yudhoyono di Partai Demokrat masih sangat besar.

Kalaupun ada satu-dua tokoh yang sempat menunjukkan minat merebut kursi orang nomor satu partai, mereka terkesankan ragu atau kurang percaya diri -- dan karena itu belakangan mereka menarik diri. Mereka sadar betul  tak bakal memperoleh banyak dukungan selama Megawati di PDIP dan Yudhoyono di Partai Demokrat masih bersedia menjadi lokomotif partai masing-masing untuk periode kepengurusan mendatang.

Entah di PDIP ataupun di Partai Demokrat, tak ada tokoh lain kecuali Megawati dan Yudhoyono yang memiliki kans besar bisa terpilih sebagai pucuk pimpinan di masing-masing partai. Hanya dua tokoh itu yang dinilai bisa diandalkan dan sanggup memimpin partai masing-masing dalam menghadapi gelombang tantangan dalam periode kepengurusan lima tahun ke depan.

Jadi, sekali lagi, Megawati di PDIP dan Yudhoyono di Partai Demokrat sangat mungkin terpilih secara aklamasi sebagai pucuk pimpinan. Itu sama sekali bukan masalah. Proses pemilihan secara aklamasi tidak tabu dan bukan cela dalam praktik berdemokrasi.

Adalah keliru  -- bahkan menyesatkan -- anggapan bahwa proses pemilihan secara aklamasi tidak demokratis. Sepanjang bersifat murni -- bukan rekayasa atau diwarnai pemaksaan -- aklamasi adalah proses pemilihan yang demokratis.

Karena itu, aklamasi tidak bisa dipertentangkan dengan proses pemilihan melalui mekanisme pemungutan suara alias voting. Aklamasi tak boleh dianggap seolah kalah demokratis dibanding voting. Keduanya -- aklamasi dan voting -- merupakan satu kesatuan dalam proses demokrasi di Indonesia. Voting merupakan pilihan dan jalan keluar terakhir dalam proses demokrasi manakala aklamasi tak menelurkan hasil dalam sebuah proses pemilihan. 

Aklamasi adalah praktik demokrasi khas Indonesia. Aklamasi adalah kearifan lokal yang digali dan diaplikasikan para bapak bangsa (the founding fathers) sebagai bagian proses berdemokrasi. Bahkan kearifan tersebut mereka wariskan lewat Sila Keempat Pancasila.

Karena itu, aklamasi tak bisa dinafikan dalam proses demokrasi di Indonesia sekarang ini. Penafikan aklamasi dengan segala sinisme bukan hanya ahistoris, melainkan juga ironis. Ironis, itu tadi, karena pihak yang mengklaim sebagai pendekar demokrasi justru menganggap aklamasi seolah merupakan cela atau nista. Padahal aklamasi adalah proses demokrasi juga sebagaimana voting.

Penafikan aklamasi sebagai proses demokrasi lebih merupakan cerminan sikap kerdil orang dalam menghadapi persaingan secara sehat dan fair. Sikap tersebut hanya dimiliki oleh para pecundang.***

Jakarta, 15 Desember 2014