18 Juli 2013

Ulah Kartel?

Kecurigaan bahwa kartel bermain di balik krisis harga bahan pokok pangan sekarang ini sungguh beralasan. Betapa tidak, karena krisis harga ini tak bisa dijelaskan oleh hukum ekonomi. 

Mestinya, menurut hukum ekonomi, harga barang naik karena permintaan masyarakat konsumen jauh lebih besar daripada pasokan. Tapi apa yang terjadi dalam krisis harga bahan pokok pangan sekarang ini tidak demikian. 

Memang, permintaan masyarakat belakangan ini meningkat seiring momentum Ramadhan. Meski begitu, pasokan barang di pasar relatif memadai -- dalam arti tidak kurang -- sehingga masyarakat tak kesulitan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Toh harga barang melambung sangat jauh sehingga tidak berkewajaran lagi.

Bahkan seperti dalam kasus daging sapi, panambahan pasokan yang dilakukan pemerintah dengan mengintervensi pasar nyaris tak berpengaruh terhadap harga. Jangankan turun, harga daging sapi malah tetap cenderung naik. 

Jadi, praktik kartel memang merugikan masyarakat luas. Kartel adalah permufakatan antarpelaku usaha dalam mengatur harga, pemasokan, juga wilayah pemasaran. Dengan permukatan ini, mereka bisa seenak udel mendikte pasar demi kepentingan dan keuntungan mereka sendiri. Karena itu, praktik ini sungguh tidak fair atau bahkan jahat. 

Karena itu pula, praktik kartel yang diduga berada di balik krisis harga bahan pokok pangan sekarang ini sungguh merisaukan. Masyarakat sungguh dibuat tak berdaya dan semata menjadi objek pemerahan. Bahkan pemerintah sendiri terkesankan tak berdaya pula. 

Namun kalau dugaan mengenai praktik kartel ini benar, sulit dipahami jika pemerintah sampai tak bisa mengendus. Sama sekali tidak masuk akal kalau pemerintah tak tahu-menahu bahwa krisis harga kebutuhan pokok pangan sekarang ini akibat praktik kartel. 

Karena itu, muncul kecurigaan: bahwa praktik kartel ini direstui sekaligus dipelihara kalangan elite politik. Kecurigaan ini terasa masuk akal: elite politik menjadikan praktik kartel sebagai salah satu sumber pendanaan kegiatan politik mereka. Lebih masuk akal lagi karena menghadapi perhelatan akbar lima tahunan -- Pemilu 2014 -- mereka jelas membutuhkan dana sangat banyak. 

Kecurigaan seperti itu tak boleh dibiarkan terus berkembang menjadi desas-desus. Bukan cuma meresahkan, desas-desus juga amat gampang mengundang fitnah dan bisa mengaburkan substansi masalah. 

Tak bisa tidak, karena itu, pemerintah -- bekerja sama dengan institusi seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) -- harus turun tangan mengusut dugaan praktik kartel di balik krisis harga bahan pokok pangan ini. Siapa saja yang ambil bagian dalam praktik tersebut, itu wajib diungkap dan ditindak tegas.

Dengan langkah itu, pemerintah tak lantas terkesankan menutup mata terhadap praktik itu. Kecurigaan ke arah sana otomatis terbantah. 

Selebihnya, penyebab utama krisis harga bahan pokok pangan bisa diharapkan terungkap -- dan karena itu bisa ditangani pemerintah tanpa meraba-raba lagi. Dinamika pasar bahan pokok pangan pun bisa kembali sejalan dengan hukum supply and demand. Di sisi lain, aneka desas-desus yang meresahkan juga niscaya otomatis hilang sirna.***


Jakarta, 18 Juli 2013