Penguatan indeks
harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), kemarin, merupakan gambaran bahwa
pelaku pasar modal dilanda eforia menyambut pelaksanaan pemilu presiden yang
terbukti berlangsung lancar dan aman. Kontroversi mengenai perbedaan hasil
hitung cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei atas pemungutan suara dalam
rangka pemilu presiden ini praktis tak berpengaruh.
Eforia itu
ditunjukkan oleh penguatan indeks harga saham yang terbilang signifikan. Indeks
harga saham gabungan (IHSG), misalnya, kemarin ditutup naik 73,30 poin atau
1,44 persen ke posisi 5.098,01. Indeks 45 saham unggulan (LQ-45) juga dikunci
menguat 16,25 poin (1,86 persen) ke level 875,65.
Boleh jadi, itu
juga karena hasil hitung cepat berbagai lembaga survei menunjukkan selisih
suara antara kedua pasangan capres-cawapres relatif tipis. Dalam konteks ini,
tampaknya pelaku pasar modal menaruh ekspektasi bahwa pasangan capres-cawapres
tertentu -- yang sejak awal lebih mereka sukai -- pada akhirnya kelak dinyatakan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pememang pemilu presiden kali ini.
Pelaku pasar
modal mungkin tak menunjukkan eforia kalau saja hasil hitung cepat menunjukkan
pasangan capres-cawapres yang mereka sukai gagal meraih suara secara
signifikan. Jadi, tampaknya, pelaku pasar modal memang menghendaki pasangan
capres-cawapres tertentu tampil sebagai pemenang pemilu presiden.
Keinginan atau
harapan itu sendiri diiringi ekspektasi tinggi bahwa pasangan capres-cawapres
yang mereka sukai memiliki peluang besar memenangi pemilu presiden. Ekspektasi
ini gamblang terbaca paling tidak sejak pertengahan pekan lalu.
Sejak Kamis
(3/7), IHSG berturut-turut naik secara relatif signifikan. Senin lalu atau dua
hari sebelum pelaksanaan pemilu presiden, misalnya, IHSG bahkan melejit 83,20
poin (1,7 persen) ke level 4989,03 -- tertinggi kedua di tingkat regional. Lalu
sehari kemudian, IHSG kembali naik hingga menembus level 5000 -- persisnya
ditutup di posisi 5024,712.
Bagi pelaku pasar
modal, pasangan capres-cawapres tertentu lebih menjamin kepastian tentang arah
ekonomi nasional ke depan ini. Pasangan tersebut mereka nilai lebih mengerti
keinginan investor sekaligus punya sikap lebih bersahabat terhadap pasar alias
market friendly.
Oleh sebab itu
bisa dipahami manakala perolehan suara pasangan capres-cawapres itu unggul
dalam pemilu presiden -- meski itu baru berdasar hasil hitung cepat beberapa
lembaga survei, serta notabene itu berbanding terbalik dengan hasil hitung
cepat beberapa lembaga survei lain -- pelaku pasar modal serta-merta berpesta
dengan melakukan aksi pembelian saham.
Pesta atau eforia
di pasar modal ini mungkin saja terulang kalau saja KPU kelak memutuskan bahwa
pemenang pemilu presiden adalah pasangan capres-cawapres yang lebih disukai pelaku
pasar. Tapi sebaliknya jika pasangan tersebut dinyatakan kalah, hampir pasti
harga saham di pasar modal sontak bertumbangan.
Pelaku pasar yang
kecewa memang niscaya bereaksi dengan melakukan aksi jual saham. Terlebih
secara teknis saat ini harga saham di BEI relatif sudah kelewat tinggi sehingga
rawan aksi ambil untung.
Atau, kemungkinan
lain, pihak yang dinyatakan kalah dalam pemilu presiden tidak sudi berjiwa
besar menerima kekalahan. Stabilitas politik di dalam negeri yang menjadi goyah
niscaya membuat pasar modal bergolak oleh aksi jual saham pula.
Walhasil, siapa
yang kelak ditetapkan KPU sebagai pemenang pemilu presiden kali ini sungguh
menjadi pertaruhan besar bagi harga-harga saham di BEI. Satu hal perlu dicatat:
persepsi positif tentang sosok pemenang niscaya berdampak menggairahkan pelaku
pasar modal. Bahkan, bak bola salju, gairah itu merebak pula di kalangan pelaku
sektor-sektor lain.***