08 Juli 2013

Pertaruhan Besar


Penguatan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), kemarin, merupakan gambaran bahwa pelaku pasar modal dilanda eforia menyambut pelaksanaan pemilu presiden yang terbukti berlangsung lancar dan aman. Kontroversi mengenai perbedaan hasil hitung cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei atas pemungutan suara dalam rangka pemilu presiden ini praktis tak berpengaruh.

Eforia itu ditunjukkan oleh penguatan indeks harga saham yang terbilang signifikan. Indeks harga saham gabungan (IHSG), misalnya, kemarin ditutup naik 73,30 poin atau 1,44 persen ke posisi 5.098,01. Indeks 45 saham unggulan (LQ-45) juga dikunci menguat 16,25 poin (1,86 persen) ke level 875,65.

Boleh jadi, itu juga karena hasil hitung cepat berbagai lembaga survei menunjukkan selisih suara antara kedua pasangan capres-cawapres relatif tipis. Dalam konteks ini, tampaknya pelaku pasar modal menaruh ekspektasi bahwa pasangan capres-cawapres tertentu -- yang sejak awal lebih mereka sukai -- pada akhirnya kelak dinyatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pememang pemilu presiden kali ini.

Pelaku pasar modal mungkin tak menunjukkan eforia kalau saja hasil hitung cepat menunjukkan pasangan capres-cawapres yang mereka sukai gagal meraih suara secara signifikan. Jadi, tampaknya, pelaku pasar modal memang menghendaki pasangan capres-cawapres tertentu tampil sebagai pemenang pemilu presiden.

Keinginan atau harapan itu sendiri diiringi ekspektasi tinggi bahwa pasangan capres-cawapres yang mereka sukai memiliki peluang besar memenangi pemilu presiden. Ekspektasi ini gamblang terbaca paling tidak sejak pertengahan pekan lalu.

Sejak Kamis (3/7), IHSG berturut-turut naik secara relatif signifikan. Senin lalu atau dua hari sebelum pelaksanaan pemilu presiden, misalnya, IHSG bahkan melejit 83,20 poin (1,7 persen) ke level 4989,03 -- tertinggi kedua di tingkat regional. Lalu sehari kemudian, IHSG kembali naik hingga menembus level 5000 -- persisnya ditutup di posisi 5024,712.

Bagi pelaku pasar modal, pasangan capres-cawapres tertentu lebih menjamin kepastian tentang arah ekonomi nasional ke depan ini. Pasangan tersebut mereka nilai lebih mengerti keinginan investor sekaligus punya sikap lebih bersahabat terhadap pasar alias market friendly.

Oleh sebab itu bisa dipahami manakala perolehan suara pasangan capres-cawapres itu unggul dalam pemilu presiden -- meski itu baru berdasar hasil hitung cepat beberapa lembaga survei, serta notabene itu berbanding terbalik dengan hasil hitung cepat beberapa lembaga survei lain -- pelaku pasar modal serta-merta berpesta dengan melakukan aksi pembelian saham.

Pesta atau eforia di pasar modal ini mungkin saja terulang kalau saja KPU kelak memutuskan bahwa pemenang pemilu presiden adalah pasangan capres-cawapres yang lebih disukai pelaku pasar. Tapi sebaliknya jika pasangan tersebut dinyatakan kalah, hampir pasti harga saham di pasar modal sontak bertumbangan.

Pelaku pasar yang kecewa memang niscaya bereaksi dengan melakukan aksi jual saham. Terlebih secara teknis saat ini harga saham di BEI relatif sudah kelewat tinggi sehingga rawan aksi ambil untung.

Atau, kemungkinan lain, pihak yang dinyatakan kalah dalam pemilu presiden tidak sudi berjiwa besar menerima kekalahan. Stabilitas politik di dalam negeri yang menjadi goyah niscaya membuat pasar modal bergolak oleh aksi jual saham pula.

Walhasil, siapa yang kelak ditetapkan KPU sebagai pemenang pemilu presiden kali ini sungguh menjadi pertaruhan besar bagi harga-harga saham di BEI. Satu hal perlu dicatat: persepsi positif tentang sosok pemenang niscaya berdampak menggairahkan pelaku pasar modal. Bahkan, bak bola salju, gairah itu merebak pula di kalangan pelaku sektor-sektor lain.***