12 Juli 2013

Hantu Inflasi

Harga bahan pokok pangan terus membubung. Belum terlihat tanda-tanda bahwa gonjang-ganjing harga ini segera mereda atau apalagi bergerak turun. Karena itu, tak cuma masyarakat konsumen, bahkan kalangan pedagang sendiri bingung.

Bagi pedagang, harga yang terus bergerak naik menyulitkan kalkulasi sekaligus mengganggu kenyamanan relasi psikologis dengan konsumen. Sementara bagi konsumen, harga yang meroket terus ini adalah malapetaka yang merontokkan daya beli. 

Kerontokana daya beli masyarakat itu gamblang tecermin pada tingkat inflasi. Bank Indonesia (BI), misalnya, memperkirakan inflasi bulan ini mencapai 2,3 hingga 2,5 persen. Ini bisa jadi merupakan inflasi bulanan tertinggi dalam lima tahun terakhir. Juni 2008 silam, kala ekonomi nasional gonjang-ganjing seiring krisis keuangan yang mendera AS kala itu, inflasi mencapai 2,46 persen.

Namun boleh jadi tingkat inflasi Juli dan Agustus mendatang jauh lebih tinggi dibanding perkiraan BI tadi. Sebab perkiraan itu cuma memperhitungkan variabel penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Sementara variabel lonjakan harga bahan pokok pangan sendiri, yang menggejala sejak dua pekan terakhir, tidak turut diperhitungkan. 

Di sisi lain, mengingat kondisi objektif di masyarakat, harga bahan pokok pangan masih potensial terus terdongkrak -- kecuali pemerintah melakukan langkah terobosan yang cespleng mengatasi gejolak di pasar. Kondisi objektif itu tidak lain adalah tingkat permintaan yang cenderung tetap tinggi hingga momen Lebaran tiba. 

Karena itu, tingkat inflasi dalam hari-hari mendatang ini sungguh merisaukan. Target pemerintah bahwa inflasi tahun ini sebesar 7,2 persen menjadi terasa kurang masuk akal. Target tersebut hampir pasti jauh terlampaui. Seperti proyeksi kalangan ekonomi, inflasi tahun ini bisa mencapai 8,5 hingga 9 persen. 

Jadi, inflasi kini sudah menjelma menjadi hantu: menumbuhkan rasa takut, namun tak ada mantra sakti untuk mengusirnya. Pemerintah amat terkesankan gagap mengendalikan keadaan di lapangan. Dalam menghadapi lonjakan harga bahan pokok pangan, pemerintah seolah kehilangan komando. Bahkan komandan sendiri tidak terjun langsung di medan tempur.

Sebagai sebuah tim, pemerintah sama sekali tidak solid dalam menghadapi gonjang-ganjing harga bahan pokok pangan ini. Sedemikian tidak solid, sampai-sampai Menko Perekonomian merasa geram karena kementerian tertentu tidak mengindahkan permintaannya agar stok bahan pokok pangan yang bergejolak ditingkatkan. 

Masing-masing institusi pemerintah memang cenderung bergerak sendiri. Itu pun masing-masing sekadar bertindak laiknya pemadam kebakaran: sporadis alias tidak komprehensif. Menteri Perdagangan, misalnya, beberapa kali terjun melakukan inspeksi harga ke pasar tradisional. Selebihnya, sang menteri bertindak mengkoordinasikan program operasi pasar bahan pokok pangan. 

Namun, soalnya, program operasi pasar sekadar merupakan riak kecil di tengah gonjang-ganjing harga bahan pokok pangan sekarang ini. Sebab pemain pasar telanjur menguasai medan: menggenggam sekaligus mengendalikan stok barang. 

Mestinya pemerintah tidak terpaku dengan program operasi pasar. Bagaimanapun program tersebut tidak cespleng dalam segala situasi. Apa yang urgen dilakukan pemerintah sebagai sebuah tim adalah memenangi pertempuran dengan merebut penguasaan stok dan rantai distribusi barang dari tangan pemain pasar. 

Dengan itu pula, hantu inflasi bisa diharapkan sirna -- atau minimal tak kelewat memiriskan.*** 

Jakarta, 12 Juli 2013