24 Juli 2013

Lampu Kuning Ekonomi


Kondisi ekonomi nasional saat ini sungguh merisaukan. Beberapa faktor memberi indikasi gamblang bahwa kondisi ekonomi nasional ini sudah masuk fase "lampu kuning" alias berbahaya. Artinya, langkah-langkah penanganan yang bersifat segera dan efektif mutlak harus ditempuh pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan.

Faktor-faktor yang memberi indikasi bahwa kondisi ekonomi nasional sudah memasuki fase "lampung kuning", antara lain, nilai tukar rupiah yang cenderung terus terpuruk. Kemarin, kurs rupiah di pasar spot antarbank Jakarta sempat menyentuh level Rp 10.300 per dolar sebelum akhirnya ditutup di kisaran Rp 10.200-an per dolar.

Terkait itu, Bank Indonesia (BI) sebenarnya sudah menggelontorkan begitu banyak dolar ke pasar uang sebagai upaya stabilisasi kurs rupiah ini -- sampai-sampai cadangan devisa pun jadi menipis. Per Mei lalu, cadangan devisa ini tinggal 98,095 miliar dolar atau menyusut dari posisi beberapa bulan sebelumnya sebesar 107-an miliar dolar AS.

Boleh jadi, cadangan devisa bakal kian menipis lagi seiring langkah BI terus mengintervensi pasar uang jika rupiah masih saja tertekan, dan di sisi lain pembayaran transaksi impor juga tetap tinggi.

Kenyataan itu mencemaskan, karena batas psikologis kurs rupiah di level Rp 10.000 sudah jauh terlampaui hanya dalam sepekan terakhir. Juga lantaran titik keseimbangan baru nilai tukar tampaknya belum segera terbentuk. Dalam konteks ini, kurs rupiah mungkin masih cenderung terseok-seok akibat berbagai faktor yang tidak kondusif, baik di lingkup internal maupun eksternal.

Faktor lain yang memberi indikasi bahwa ekonomi nasional sudah masuk fase "lampu kuning" adalah defisit dalam neraca pembayaran yang semakin lebar: 6,6 miliar dolar AS per kuartal I/2013. Lalu, pada saat bersamaan, neraca transaksi berjalan juga desifit sebesar 5,3 miliar dolar.

Defisit itu tertoreh terutama karena kinerja ekspor kedodoran. Nilai impor jauh lebih besar ketimbang ekspor akibat ketergantungan terhadap barang dan jasa eks luar negeri kelewat tinggi -- dan semakin tinggi seiring kelemahan di sejumlah sektor, seperti sektor pertanian tanaman pangan.

Di sisi lain, tumpukan utang pemerintah juga semakin menggunung. Sekarang ini, total utang pemerintah sudah jauh melampaui Rp 2.000 triliun. Utang semakin menggunung karena pemerintah cenderung gampangan menerbitkan surat utang sebagai alternatif pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan negara.

Boleh jadi, kecenderungan tersebut didorong oleh kinerja perpajakan yang tidak optimal -- termasuk banyak mengalami kebocoran sebagaimana tecermin dalam sejumlah kasus manipulasi pajak yang menghebohkan.

Faktor lain lagi yang menghantui ekonomi nasional sekarang ini adalah laju inflasi. Berbagai perkiraan menyebutkan, inflasi tahun ini bisa bablas jauh melampaui target pemerintah di level 7,2 persen. Inflasi menjadi momok, karena manajemen perdagangan belakangan ini amat kedodoran -- terutama menyangkut kebutuhan pokok pangan.

Melihat faktor-faktor itu, jelas sikap waspada saja sudah tidak cukup lagi. Kondisi ekonomi yang sudah sampai fase "lampu kuning" ini bagaimanapun menuntut pemerintah melakukan langkah penanganan yang bersifat segera dan efektif. Sikap memandang enteng masalah -- easy going atau business as usual -- sungguh berisiko menyeret ekonomi nasional kian memburuk. Bukan tidak mungkin kondisi ekonomi nasional segera memasuki fase "lampu merah" alias berbahaya.

Persoalannya, adakah kesadaran pemerintah tentang itu di tengah godaan besar hajat politik akbar pada tahun depan?***

Jakarta, 24 Juli 2013