Kondisi ekonomi
nasional saat ini sungguh merisaukan. Beberapa faktor memberi indikasi gamblang
bahwa kondisi ekonomi nasional ini sudah masuk fase "lampu kuning"
alias berbahaya. Artinya, langkah-langkah penanganan yang bersifat segera dan
efektif mutlak harus ditempuh pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan.
Faktor-faktor
yang memberi indikasi bahwa kondisi ekonomi nasional sudah memasuki fase
"lampung kuning", antara lain, nilai tukar rupiah yang cenderung
terus terpuruk. Kemarin, kurs rupiah di pasar spot antarbank Jakarta sempat
menyentuh level Rp 10.300 per dolar sebelum akhirnya ditutup di kisaran Rp
10.200-an per dolar.
Terkait itu, Bank
Indonesia (BI) sebenarnya sudah menggelontorkan begitu banyak dolar ke pasar
uang sebagai upaya stabilisasi kurs rupiah ini -- sampai-sampai cadangan devisa
pun jadi menipis. Per Mei lalu, cadangan devisa ini tinggal 98,095 miliar dolar
atau menyusut dari posisi beberapa bulan sebelumnya sebesar 107-an miliar dolar
AS.
Boleh jadi,
cadangan devisa bakal kian menipis lagi seiring langkah BI terus mengintervensi
pasar uang jika rupiah masih saja tertekan, dan di sisi lain pembayaran
transaksi impor juga tetap tinggi.
Kenyataan itu
mencemaskan, karena batas psikologis kurs rupiah di level Rp 10.000 sudah jauh
terlampaui hanya dalam sepekan terakhir. Juga lantaran titik keseimbangan baru
nilai tukar tampaknya belum segera terbentuk. Dalam konteks ini, kurs rupiah
mungkin masih cenderung terseok-seok akibat berbagai faktor yang tidak
kondusif, baik di lingkup internal maupun eksternal.
Faktor lain yang
memberi indikasi bahwa ekonomi nasional sudah masuk fase "lampu
kuning" adalah defisit dalam neraca pembayaran yang semakin lebar: 6,6
miliar dolar AS per kuartal I/2013. Lalu, pada saat bersamaan, neraca transaksi
berjalan juga desifit sebesar 5,3 miliar dolar.
Defisit itu
tertoreh terutama karena kinerja ekspor kedodoran. Nilai impor jauh lebih besar
ketimbang ekspor akibat ketergantungan terhadap barang dan jasa eks luar negeri
kelewat tinggi -- dan semakin tinggi seiring kelemahan di sejumlah sektor,
seperti sektor pertanian tanaman pangan.
Di sisi lain,
tumpukan utang pemerintah juga semakin menggunung. Sekarang ini, total utang
pemerintah sudah jauh melampaui Rp 2.000 triliun. Utang semakin menggunung
karena pemerintah cenderung gampangan menerbitkan surat utang sebagai
alternatif pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
Boleh jadi,
kecenderungan tersebut didorong oleh kinerja perpajakan yang tidak optimal --
termasuk banyak mengalami kebocoran sebagaimana tecermin dalam sejumlah kasus
manipulasi pajak yang menghebohkan.
Faktor lain lagi
yang menghantui ekonomi nasional sekarang ini adalah laju inflasi. Berbagai
perkiraan menyebutkan, inflasi tahun ini bisa bablas jauh melampaui target
pemerintah di level 7,2 persen. Inflasi menjadi momok, karena manajemen
perdagangan belakangan ini amat kedodoran -- terutama menyangkut kebutuhan
pokok pangan.
Melihat
faktor-faktor itu, jelas sikap waspada saja sudah tidak cukup lagi. Kondisi
ekonomi yang sudah sampai fase "lampu kuning" ini bagaimanapun
menuntut pemerintah melakukan langkah penanganan yang bersifat segera dan
efektif. Sikap memandang enteng masalah -- easy going atau business as usual --
sungguh berisiko menyeret ekonomi nasional kian memburuk. Bukan tidak mungkin
kondisi ekonomi nasional segera memasuki fase "lampu merah" alias
berbahaya.
Persoalannya,
adakah kesadaran pemerintah tentang itu di tengah godaan besar hajat politik
akbar pada tahun depan?***
Jakarta, 24 Juli
2013