07 Juli 2013

Ritual Kenaikan Harga

Menjelang Ramadhan sekarang ini, harga kebutuhan pokok selalu menggila. Menggila, karena kenaikan harga kebutuhan pokok ini kelewat tinggi sehingga tak bisa dikatakan wajar. Betapa tidak, karena kenaikan tersebut berkisar antara 20 persen hingga 50 persen -- tergantung jenis komoditas. 

Kenaikan harga menjelang Ramadhan ini sungguh menyesakkan. Sebab, menyusul penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi, dua pekan lalu, harga kebutuhan pokok sudah pula meroket. Artinya, lonjakan harga menjelang Ramadhan ini adalah pukulan kedua yang bikin puyeng khalayak luas.

Kenyataan itu menegaskan bahwa kenaikan harga kebutuhan pokok menjelang Ramadhan -- juga momen-momen lain yang mendorong permintaan di masyarakat naik -- adalah sebuah "ritual". Sebagai ritual, kenaikan itu begitu niscaya. Tak terhindarkan. 

Tetapi mestinya tidak. Momen Ramadhan ataupun momen-momen lain mestinya tak sampai melonjakkan harga kebutuhan pokok secara berlebihan kalau saja pemerintah sigap melakukan langkah-langkah antisipasi. Dengan antisipasi yang matang, peningkatan permintaan di masyarakat tak mesti membuat harga kebutuhan pokok meroket gila-gilaan. Peningkatan permintaan terkondisi sekadar berdampak mengerek harga ke tingkat yang tergolong wajar alias tidak berlebihan. 

Peningkatan harga yang tidak berlebihan itu sendiri lebih bersifat temporer. Harga kebutuhan pokok kemudian perlahan-lahan bergerak turun kembali ke posisi semula sampai kemudian terkerek lagi saat momen baru muncul.

Namun karena antisipasi pemerintah payah, momen-momen yang mendorong peningkatan permintaan di masyarakat ini selalu saja melejitkan harga kebutuhan pokok secara tidak semestinya. Karena itu, seperti menjelang Ramadhan sekarang ini, lonjakan harga yang tidak semestinya itu menjadi sebuah ritual. 

Menurut hukum ekonomi, kenaikan harga merupakan akibat peningkatan permintaan. Hukum ini mustahil tak dipahami pemerintah selaku pihak yang bertanggung jawab terhadap masalah kesejahteraan masyarakat. 

Justru itu, jika peningkatan harga kebutuhan pokok seperti menjelang Ramadhan sekarang ini tidak lagi sepenuhnya mencerminkan hukum penawaran dan permintaan, berarti pemerintah gagal menyiapkan langkah-langkah taktis agar penawaran dan permintaan di masyarakat tetap berkeseimbangan. 

Kegagalan itu sungguh menyesakkan, karena pemerintah -- mulai di tingkat pusat hingga ke di tingkat pemda -- memiliki sejumlah institusi yang saling bertaut dan bertanggung jawab dalam pengamanan gejolak harga di pasar. Pemerintah juga memiliki Badan Ketahanan Pangan. Bahkan ada pula institusi yang disebut Dewan Ketahanan Pangan.

Toh semua itu seolah sia-sia. Keberadaan berbagai institusi itu sedikit sekali memberi manfaat positif di saat kritis seperti menjelang Ramadhan sekarang ini. 

Tetapi pemerintah memang tidak sungguh-sungguh antisipatif. Tidak seperti di waktu lampau, pemerintah tidak terlihat melakukan persiapan khusus menyongsong tibanya momentum peningkatan permintaan seperti menjelang Ramadhan. Pemimpin nasional sendiri lebih merasa penting berasyik-asyik berkicau di media sosial ketimbang mengonsolidasikan kekuatan untuk mengamankan pasar kebutuhan pokok.

Karena itu, kenaikan harga kebutuhan pokok pun begitu niscaya menjadi ritual yang selalu mengiringi momen tertentu seperti menjelang Ramadhan sekarang ini.***


Jakarta, 7 Juli 2013