Kalau sekadar
melihat pergerakan harian, depresiasi rupiah terhadap dolar AS belakangan ini
masih terbilang wajar. Wajar, karena kurs rupiah tidak tergerus kelewat dalam.
Seperti kemarin, rupiah cuma terdepresiasi 4 poin dari posisi Rabu lalu sebesar
Rp 9.941 per dolar. Begitu pula depresiasi pada Selasa lalu yang cuma 6 poin
dibanding Senin di posisi Rp 9.934 per dolar.
Jadi, pelemahan rupiah secara harian sekarang ini tidak beralasan dirisaukan. Otoritas moneter seperti BI tak perlu reaktif sehingga tergoda melakukan intervensi dengan mengguyurkan rupiah ke pasar uang. Intervensi ke pasar uang hanya relevan dan urgen manakala kurs rupiah terdepresiasi signifikan dengan pergerakan yang cenderung terus tertekan.
Meski begitu, jika menarik garis merah jauh ke belakang, soal nilai tukar rupiah ini sudah terasa merisaukan. Betapa tidak, karena hampir 1,5 tahun ini kurs rupiah praktis terus-menerus tertekan. Data menunjukkan bahwa sejak Januari 2012 hingga Kamis kemarin rupiah sudah terdepresiasi lebih dari 850 poin.
Jadi, pelemahan rupiah secara harian sekarang ini tidak beralasan dirisaukan. Otoritas moneter seperti BI tak perlu reaktif sehingga tergoda melakukan intervensi dengan mengguyurkan rupiah ke pasar uang. Intervensi ke pasar uang hanya relevan dan urgen manakala kurs rupiah terdepresiasi signifikan dengan pergerakan yang cenderung terus tertekan.
Meski begitu, jika menarik garis merah jauh ke belakang, soal nilai tukar rupiah ini sudah terasa merisaukan. Betapa tidak, karena hampir 1,5 tahun ini kurs rupiah praktis terus-menerus tertekan. Data menunjukkan bahwa sejak Januari 2012 hingga Kamis kemarin rupiah sudah terdepresiasi lebih dari 850 poin.
Semula,
kecenderungan itu diduga berkaitan dengan ketidakpastian rencana penaikan harga
bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Dalam konteks itu, pelaku di pasar uang
melakukan ekspektasi-ekspektasi karena pemerintah begitu kental memperlihatkan
sikap galau dan ragu untuk mengambil keputusan.
Namun setelah
pemerintah memutuskan harga BBM subsidi dinaikkan pun, rupiah tetap saja
cenderung tertekan. Tren pelemahan nilai tukar rupiah ternyata tak serta-merta
berhenti.
Mungkin benar,
rencana penaikan harga BBM subsidi yang sempat terombang-ambing begitu lama
dalam ketidakpastian merupakan faktor yang membuat kurs rupiah tertekan. Namun,
melihat tren yang menunjukkan rupiah masih terus terdepresiasi, isu itu jelas
bukan satu-satunya faktor. Isu rencana penaikan harga BBM subsidi sekadar
faktor tambahan.
Kalangan pengamat
dan pelaku pasar uang sendiri menyebut tren pelemahan kurs rupiah ini lebih
merupakan cermin kerapuhan ekonomi nasional. Kerapuhan itu tergambar jelas dari
kondisi anggaran negara yang terus mengalami defisit, dan di sisi lain dari
neraca perdagangan yang juga mengalami tekor sejak setahun terakhir.
Defisit anggaran
tertoreh karena pengeluaran lebih besar daripada penerimaan negara. Sangat
boleh jadi, ini bertali-temali dengan pengelolaan keuanggan yang tidak efisien
dan terutama banyak digerogoti korupsi.
Di sisi lain,
neraca perdagangan juga defisit karena nilai impor jauh lebih besar ketimbang
hasil ekspor. Artinya, kinerja ekspor kelewat lemah dibanding tingkat kebutuhan
impor.
Walhasil, tren
pelemahan kurs rupiah sekarang ini lebih merupakan sinyal bahwa ekonomi
nasional harus serius dibenahi sehingga menjadi sehat dan efisien. Untuk itu,
pemberantasan korupsi harus menjadi program yang konsisten dan konsekuen
dilaksanakan. Lalu, daya saing ekspor juga harus benar-benar ditingkatkan
dengan mengbabat habis berbagai praktik ekonomi biaya tinggi.***
Jakarta, 4 Juli
2013