04 Juli 2013

Sinyal Pelemahan Rupiah


Kalau sekadar melihat pergerakan harian, depresiasi rupiah terhadap dolar AS belakangan ini masih terbilang wajar. Wajar, karena kurs rupiah tidak tergerus kelewat dalam. Seperti kemarin, rupiah cuma terdepresiasi 4 poin dari posisi Rabu lalu sebesar Rp 9.941 per dolar. Begitu pula depresiasi pada Selasa lalu yang cuma 6 poin dibanding Senin di posisi Rp 9.934 per dolar.

Jadi, pelemahan rupiah secara harian sekarang ini tidak beralasan dirisaukan. Otoritas moneter seperti BI tak perlu reaktif sehingga tergoda melakukan intervensi dengan mengguyurkan rupiah ke pasar uang. Intervensi ke pasar uang hanya relevan dan urgen manakala kurs rupiah terdepresiasi signifikan dengan pergerakan yang cenderung terus tertekan.

Meski begitu, jika menarik garis merah jauh ke belakang, soal nilai tukar rupiah ini sudah terasa merisaukan. Betapa tidak, karena hampir 1,5 tahun ini kurs rupiah praktis terus-menerus tertekan. Data menunjukkan bahwa sejak Januari 2012 hingga Kamis kemarin rupiah sudah terdepresiasi lebih dari 850 poin.

Semula, kecenderungan itu diduga berkaitan dengan ketidakpastian rencana penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Dalam konteks itu, pelaku di pasar uang melakukan ekspektasi-ekspektasi karena pemerintah begitu kental memperlihatkan sikap galau dan ragu untuk mengambil keputusan.

Namun setelah pemerintah memutuskan harga BBM subsidi dinaikkan pun, rupiah tetap saja cenderung tertekan. Tren pelemahan nilai tukar rupiah ternyata tak serta-merta berhenti.

Mungkin benar, rencana penaikan harga BBM subsidi yang sempat terombang-ambing begitu lama dalam ketidakpastian merupakan faktor yang membuat kurs rupiah tertekan. Namun, melihat tren yang menunjukkan rupiah masih terus terdepresiasi, isu itu jelas bukan satu-satunya faktor. Isu rencana penaikan harga BBM subsidi sekadar faktor tambahan.

Kalangan pengamat dan pelaku pasar uang sendiri menyebut tren pelemahan kurs rupiah ini lebih merupakan cermin kerapuhan ekonomi nasional. Kerapuhan itu tergambar jelas dari kondisi anggaran negara yang terus mengalami defisit, dan di sisi lain dari neraca perdagangan yang juga mengalami tekor sejak setahun terakhir.

Defisit anggaran tertoreh karena pengeluaran lebih besar daripada penerimaan negara. Sangat boleh jadi, ini bertali-temali dengan pengelolaan keuanggan yang tidak efisien dan terutama banyak digerogoti korupsi.

Di sisi lain, neraca perdagangan juga defisit karena nilai impor jauh lebih besar ketimbang hasil ekspor. Artinya, kinerja ekspor kelewat lemah dibanding tingkat kebutuhan impor.

Walhasil, tren pelemahan kurs rupiah sekarang ini lebih merupakan sinyal bahwa ekonomi nasional harus serius dibenahi sehingga menjadi sehat dan efisien. Untuk itu, pemberantasan korupsi harus menjadi program yang konsisten dan konsekuen dilaksanakan. Lalu, daya saing ekspor juga harus benar-benar ditingkatkan dengan mengbabat habis berbagai praktik ekonomi biaya tinggi.***

Jakarta, 4 Juli 2013