08 April 2013

Politisasi Bencana

Memberi bantuan kepada korban bencana alam sah-sah saja. Bahkan perbuatan tersebut mulia: meringankan penderitaan sesama yang sedang kesulitan.

Namun kalau kental bernuansa pamrih, perbuatan itu terasa hambar. Terlebih kalau pamrih itu adalah tebar pesona dalam upaya menjala simpati korban bencana. Sungguh, pemberian bantuan dalam rangka tebar pesona ini bukan lagi merupakan perbuatan mulia.

Tidak mulia, karena dalam kasus seperti itu pemberian bantuan tidak tulus. Perbuatan itu sangat artifisial: sekadar alat untuk mencapai tujuan tertentu yang menjadi kepentingan pihak pemberi bantuan. Dalam konteks ini, korban bencana diperlakukan sekadar sebagai objek -- bukan subjek yang sarat nilai kemanusiaan.

Karena itu, sejumlah tokoh -- antara lain Ketua PB Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj -- merasa perlu menyeru banyak pihak agar gerakan sosial membantu korban banjir di DKI Jakarta sekarang ini tidak ditunggangi kepentingan politis.
Mereka meminta gerakan tersebut tidak dilakukan terkotak-kotak dalam berbagai kelompok, golongan, atau organisasi yang kental bernuansa politik.

Jadi, bencana banjir tak boleh dijadikan objek politisasi. Tidak boleh, karena jelas tidak etis: memperlakukan korban bencana sekadar sebagai objek kepentingan politik. Juga bisa membuat gerakan sosial membantu korban banjir tidak benar-benar efektif.

Seruan sejumlah tokoh itu jelas dialamatkan kepada kalangan parpol yang kini seolah berlomba membantu korban bencana banjir di DKI Jakarta. Masing-masing parpol sibuk menyalurkan bantuan logistik, membangun posko-posko bantuan, juga menerjunkan tim kesehatan ke tengah lokasi bencana.

Kesibukan kalangan parpol itu sulit dikatakan bukan bentuk tebar pesona. Betapa tidak, karena kesibukan tersebut sarat diwarnai atribut masing-masing sebagai parpol. Karena itu pula, wajar jika sejumlah tokoh menilai kegiatan mereka ini sebagai politisasi korban bencana.

Menjelang perhelatan akbar berupa Pemilu 2014, politisasi korban bencana memang seksi. Seksi, karena rakyat sekarang ini -- sebagaimana ditunjukkan beberapa survei -- dalam kondisi jenuh atau bahkan tidak memercayai lagi parpol. Di mata rakyat, parpol cenderung khianat terhadap amanat dan kepentingan mereka. Parpol-parpol sudah mencederai kepercayaan yang telah mereka berikan dalam beberapa pemilu.

Kenyataan itu pula, tampaknya, yang membakar semangat parpol-parpol saling berlomba tebar pesona di tengah rakyat banyak. Masing-masing berupaya meyakinkan rakyat bahwa mereka masih layak dipercaya sebagai wahana penyaluran kepentingan. Untuk itu, berbagai peluang tak mereka sia-siakan -- termasuk korban bencana alam -- semata untuk menumbuhkan simpati dan dukungan rakyat.

Politisasi itu makin seksi karena pemerintah sendiri tak sepenuhnya siap menangani korban bencana seperti bencana banjir di DKI Jakarta ini. Jajaran pemerintahan kedodoran karena antisipasi dan koordinasi sangat minim. Padahal bencana banjir di DKI Jakarta ini sudah menjadi agenda rutin.

Tapi, sekali lagi, politisasi korban bencana alam secara etis sangat tidak elok. Itu tadi: karena korban bencana dijadikan sekadar objek untuk mencapai tujuan politik. Korban bencana diperlakukan sekadar bilangan suara -- bukan lagi kumpulan manusia yang sedang bergelut dengan kesulitan.

Walhasil, penyaluran bantuan untuk korban bencana harus bebas kepentingan dan pamrih apa pun. Dengan demikian, aktivitas itu bisa menjadi gerakan sosial yang padu dan benar-benar bermanfaat: meringankan beban penderitaan korban bencana.***