Memberi bantuan
kepada korban bencana alam sah-sah saja. Bahkan perbuatan tersebut mulia:
meringankan penderitaan sesama yang sedang kesulitan.
Namun kalau
kental bernuansa pamrih, perbuatan itu terasa hambar. Terlebih kalau pamrih itu
adalah tebar pesona dalam upaya menjala simpati korban bencana. Sungguh,
pemberian bantuan dalam rangka tebar pesona ini bukan lagi merupakan perbuatan
mulia.
Tidak mulia,
karena dalam kasus seperti itu pemberian bantuan tidak tulus. Perbuatan itu
sangat artifisial: sekadar alat untuk mencapai tujuan tertentu yang menjadi
kepentingan pihak pemberi bantuan. Dalam konteks ini, korban bencana
diperlakukan sekadar sebagai objek -- bukan subjek yang sarat nilai
kemanusiaan.
Karena itu,
sejumlah tokoh -- antara lain Ketua PB Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj --
merasa perlu menyeru banyak pihak agar gerakan sosial membantu korban banjir di
DKI Jakarta sekarang ini tidak ditunggangi kepentingan politis.
Mereka meminta
gerakan tersebut tidak dilakukan terkotak-kotak dalam berbagai kelompok,
golongan, atau organisasi yang kental bernuansa politik.
Jadi, bencana
banjir tak boleh dijadikan objek politisasi. Tidak boleh, karena jelas tidak
etis: memperlakukan korban bencana sekadar sebagai objek kepentingan politik.
Juga bisa membuat gerakan sosial membantu korban banjir tidak benar-benar
efektif.
Seruan sejumlah
tokoh itu jelas dialamatkan kepada kalangan parpol yang kini seolah berlomba
membantu korban bencana banjir di DKI Jakarta. Masing-masing parpol sibuk
menyalurkan bantuan logistik, membangun posko-posko bantuan, juga menerjunkan
tim kesehatan ke tengah lokasi bencana.
Kesibukan
kalangan parpol itu sulit dikatakan bukan bentuk tebar pesona. Betapa tidak,
karena kesibukan tersebut sarat diwarnai atribut masing-masing sebagai parpol.
Karena itu pula, wajar jika sejumlah tokoh menilai kegiatan mereka ini sebagai
politisasi korban bencana.
Menjelang
perhelatan akbar berupa Pemilu 2014, politisasi korban bencana memang seksi.
Seksi, karena rakyat sekarang ini -- sebagaimana ditunjukkan beberapa survei --
dalam kondisi jenuh atau bahkan tidak memercayai lagi parpol. Di mata rakyat,
parpol cenderung khianat terhadap amanat dan kepentingan mereka. Parpol-parpol
sudah mencederai kepercayaan yang telah mereka berikan dalam beberapa pemilu.
Kenyataan itu
pula, tampaknya, yang membakar semangat parpol-parpol saling berlomba tebar
pesona di tengah rakyat banyak. Masing-masing berupaya meyakinkan rakyat bahwa
mereka masih layak dipercaya sebagai wahana penyaluran kepentingan. Untuk itu,
berbagai peluang tak mereka sia-siakan -- termasuk korban bencana alam --
semata untuk menumbuhkan simpati dan dukungan rakyat.
Politisasi itu
makin seksi karena pemerintah sendiri tak sepenuhnya siap menangani korban
bencana seperti bencana banjir di DKI Jakarta ini. Jajaran pemerintahan
kedodoran karena antisipasi dan koordinasi sangat minim. Padahal bencana banjir
di DKI Jakarta ini sudah menjadi agenda rutin.
Tapi, sekali
lagi, politisasi korban bencana alam secara etis sangat tidak elok. Itu tadi:
karena korban bencana dijadikan sekadar objek untuk mencapai tujuan politik.
Korban bencana diperlakukan sekadar bilangan suara -- bukan lagi kumpulan
manusia yang sedang bergelut dengan kesulitan.
Walhasil,
penyaluran bantuan untuk korban bencana harus bebas kepentingan dan pamrih apa
pun. Dengan demikian, aktivitas itu bisa menjadi gerakan sosial yang padu dan
benar-benar bermanfaat: meringankan beban penderitaan korban bencana.***