10 April 2013

Integritas Pegawai Pajak


Pegawai pajak sebenarnya tak punya alasan mendasar untuk berbuat koruptif. Toh mereka sudah menikmati hidup sejahtera jauh di atas rata-rata orang kebanyakan. Sedemikian rupa kesejahteraan yang diberikan negara, sehingga mereka seharusnya tak perlu sampai menerima suap ataupun memeras wajib pajak.

Untuk menyejahterakan pegawai pajak, negara memberlakukan sistem remunerasi yang membuat penghasilan mereka jauh lebih tinggi dibanding pegawai negeri sipil pada umumnya. Itu masih ditambah oleh sistem insentif yang makin menjadikan mereka tak beralasan berbuat konyol dan culas: korupsi -- sekadar untuk memuaskan nafsu memperkaya diri.

Karena itu, kasus pegawai pajak bernama Pargono Riyadi, yang Selasa lalu tertangkap tangan oleh aparat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima uang -- diduga sogokan -- dari pegawai sebuah perusahaan swasta, sungguh memprihatinkan. Kasus tersebut menunjukkan bahwa integritas pegawai pajak -- meski jelas tidak bersifat umum -- masih tidak beres. Seolah-olah kesejahteraan yang diberikan negara kepada pegawai pajak ini masih saja tidak menyejahterakan.

Sebelum kasus Pargono ini, publik tentu masih ingat sederet kasus lain kongkalingkong perpajakan ini. Sebut saja kasus dengan aktor utama (eks) pegawai pajak bernama Gayus Halomoan Tambunan atau Dhana Widyatmika. 

Boleh jadi, masih banyak pegawai pajak lain yang juga berbuat culas seperti Gayus, Dhana, ataupun Pargono. Cuma perbuatan korup mereka memang belum terungkap atau tertangkap tangan oleh aparat yang berwajib.

Dalam konteks itu, boleh jadi perilaku bobrok di institusi perpajakan belum benar-benar sirna. Meski pemerintah sudah memberikan kesejahteraan yang memadai -- juga merapkan sistem pengawasan yang terbilang ketat --, penyakit lama yang bernama mental korup mungkin masih saja menjangkiti kalangan pegawai pajak ini.

Jadi, mungkin tak sedikit pegawai pajak yang masih biasa memeras wajib pajak atau menganggap sogok sebagai soal biasa dan lazim. Sekali lagi, ini soal integritas yang perlu dibenahi secara lebih baik lagi -- di samping sanksi hukum yang harus benar-benar menimbulkan efek jera. 

Itu sungguh penting dan menjadi tuntutan mutlak karena peran pajak dalam penyelenggaraan negara semakin menjadi andalan. Penerimaan pajak kian dikondisikan sebagai sumber pembiayaan pembangunan dan penyelenggaraan negara. Ini bukan hanya karena utang negara telanjur menggunung, melainkan juga karena pemerintah secara politis dituntut mampu menumpukan sumber pembiayaan kepada kekuatan sendiri.

Sejauh ini, tuntutan itu belum seratus persen bisa dipenuhi sehingga APBN pun tiap tahun masih saja menorehkan defisit. Artinya, penerimaan pajak belum sepenuhnya mampu menjadi sumber pembiayaan pembangunan dan penyelenggaraan negara. Dalam konteks itu, sejumlah kendala mengganjal -- antara lain kondisi ekonomi tidak kondusif, serta sistem perpajakan belum efektif mengalirkan penerimaan ke kas negara.

Penerimaan pajak bisa terus tidak optimal selama mental korup masih merongrong kalangan pegawai pajak. Bagaimanapun, perilaku mereka menerima suap atau sogok bukan cuma berdampak memperkaya diri mereka sendiri, melainkan terutama membuat penerimaan pajak tidak sebagaimana seharusnya.

Karena itu, kasus yang menjerat Pargono dan pegawai pajak yang lain harus dijadikan titik pijak pemerintah melakukan pembenahan lebih dalam dan lebih mendasar lagi -- terutama menyangkut masalah integritas.***

Jakarta, 10 April 2013