Pemerintah tak
perlu ragu mengubah pengaturan impor komoditas pangan: bukan lagi melalui
sistem kuota, tetapi menggunakan sistem tarif. Bagaimanapun, biang kerok
gejolak harga sejumlah komoditas pangan seperti belakangan menggejala ya sistem
kuota ini.
Sebagai sebuah
mekanisme pengaturan impor, sistem kuota memiliki cacat bawaan: gampang menjadi
lahan subur praktik kongkalingkong antara pengambil kebijakan dan pengusaha
serta politisi. Sistem kuota sulit dikontrol, sehingga bahkan praktik kartel
begitu leluasa mempermainkan harga komoditas pangan. Dalam konteks ini,
kepentingan publik semata-mata merupakan objek bancakan pihak-pihak yang
terlibat dalam proses impor.
Karena itu,
rencana pemerintah mengubah sistem pengaturan impor komoditas pangan ini bermakna
positif -- dan karena itu patut diberi apresiasi. Terlebih bila rencana
tersebut segera direalisasikan -- karena kegiatan impor komoditas pangan
sekarang ini sudah sangat tidak sehat dan cenderung merugikan publik.
Memang,
seharusnya perubahan sistem pengaturan impor komoditas pangan ini dilakukan
sejak jauh hari. Yaitu sejak pasar pangan di dalam negeri bergejolak tidak
wajar dan sangat tidak sehat. Dengan demikian, energi yang tidak perlu tak
mesti sampai banyak terkuras. Terutama masyarakat luas sebagai konsumen tak
harus menderita akibat menanggung beban kenaikan harga pangan yang tidak
karu-karuan.
Selain itu,
seperti diakui sendiri oleh pemerintah, juga karena sistem kuota impor tak
sejalan dengan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Artinya, sistem
tersebut menyimpan bom waktu berupa gugatan negara-negara yang merasa
dirugikan. Untung saja, sejauh ini bom tersebut belum pernah meledak.
Karena itu, tak
beralasan jika sistem kuota sebagai mekanisme pengaturan impor komoditas pangan
ini dipertahankan. Justru itu, rencana pengubahan sistem sistem kuota ke sistem
tarif bisa dimaknai sebagai wujud itikad dan kemauan baik pemerintah untuk
menutup setiap celah kongkalingkong dalam proses impor komoditas pangan.
Pemerintah terkesankan tak hendak melanggengkan sistem yang nyata-nyata penuh
bias.
Jadi, rencana
pengubahan pengaturan impor komoditas pangan ke sistem tarif sungguh positif.
Sistem tersebut lebih bisa diandalkan mampu menjamin keseimbangan pasokan dan
penawaran barang di pasar, sehingga harga yang terbentuk lebih objektif dan
berkewajaran.
Meski begitu,
pemerintah tetap dituntut berhati-hati dalam menerapkan sistem tarif impor
komoditas pangan ini. Terutama agar keseimbangan pasokan dan penawaran barang
di pasar bisa terjaga baik dan sehat, penetapan tarif bea masuk harus
benar-benar cermat. Tingkat tarif bea masuk tak boleh diberlakukan tanpa
pijakan dan tanpa perhitungan akurat.
Tuntutan itu
mutlak, karena dua kepentingan menjadi pertaruhan. Jika tarif bea masuk kelewat
tinggi, jelas harga komoditas bersangkutan juga tinggi sehingga sulit dijangkau
masyarakat kebanyakan. Tapi sebaliknya jika tarif bea masuk kelewat rendah,
petani di dalam negeri menjadi korban. Impor, dalam konteks ini, menjadi
disinsentif terhadap kegiatan usaha petani lokal.
Jadi, masyarakat
konsumen tak boleh sampai dimanjakan oleh harga murah komoditas impor. Namun
petani lokal juga jangan seperti diproteksi oleh tingginya harga komoditas
pangan yang didatangkan dari mancanegara. Yang dibutuhkan petani memang bukan
proteksi, melainkan insentif-insentif yang memungkinkan usaha mereka bisa
lancar dan produktif.***
Jakarta, 7 April 2013