07 April 2013

Impor Pangan


Pemerintah tak perlu ragu mengubah pengaturan impor komoditas pangan: bukan lagi melalui sistem kuota, tetapi menggunakan sistem tarif. Bagaimanapun, biang kerok gejolak harga sejumlah komoditas pangan seperti belakangan menggejala ya sistem kuota ini.

Sebagai sebuah mekanisme pengaturan impor, sistem kuota memiliki cacat bawaan: gampang menjadi lahan subur praktik kongkalingkong antara pengambil kebijakan dan pengusaha serta politisi. Sistem kuota sulit dikontrol, sehingga bahkan praktik kartel begitu leluasa mempermainkan harga komoditas pangan. Dalam konteks ini, kepentingan publik semata-mata merupakan objek bancakan pihak-pihak yang terlibat dalam proses impor.

Karena itu, rencana pemerintah mengubah sistem pengaturan impor komoditas pangan ini bermakna positif -- dan karena itu patut diberi apresiasi. Terlebih bila rencana tersebut segera direalisasikan -- karena kegiatan impor komoditas pangan sekarang ini sudah sangat tidak sehat dan cenderung merugikan publik.

Memang, seharusnya perubahan sistem pengaturan impor komoditas pangan ini dilakukan sejak jauh hari. Yaitu sejak pasar pangan di dalam negeri bergejolak tidak wajar dan sangat tidak sehat. Dengan demikian, energi yang tidak perlu tak mesti sampai banyak terkuras. Terutama masyarakat luas sebagai konsumen tak harus menderita akibat menanggung beban kenaikan harga pangan yang tidak karu-karuan.

Selain itu, seperti diakui sendiri oleh pemerintah, juga karena sistem kuota impor tak sejalan dengan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Artinya, sistem tersebut menyimpan bom waktu berupa gugatan negara-negara yang merasa dirugikan. Untung saja, sejauh ini bom tersebut belum pernah meledak.

Karena itu, tak beralasan jika sistem kuota sebagai mekanisme pengaturan impor komoditas pangan ini dipertahankan. Justru itu, rencana pengubahan sistem sistem kuota ke sistem tarif bisa dimaknai sebagai wujud itikad dan kemauan baik pemerintah untuk menutup setiap celah kongkalingkong dalam proses impor komoditas pangan. Pemerintah terkesankan tak hendak melanggengkan sistem yang nyata-nyata penuh bias.

Jadi, rencana pengubahan pengaturan impor komoditas pangan ke sistem tarif sungguh positif. Sistem tersebut lebih bisa diandalkan mampu menjamin keseimbangan pasokan dan penawaran barang di pasar, sehingga harga yang terbentuk lebih objektif dan berkewajaran.

Meski begitu, pemerintah tetap dituntut berhati-hati dalam menerapkan sistem tarif impor komoditas pangan ini. Terutama agar keseimbangan pasokan dan penawaran barang di pasar bisa terjaga baik dan sehat, penetapan tarif bea masuk harus benar-benar cermat. Tingkat tarif bea masuk tak boleh diberlakukan tanpa pijakan dan tanpa perhitungan akurat.

Tuntutan itu mutlak, karena dua kepentingan menjadi pertaruhan. Jika tarif bea masuk kelewat tinggi, jelas harga komoditas bersangkutan juga tinggi sehingga sulit dijangkau masyarakat kebanyakan. Tapi sebaliknya jika tarif bea masuk kelewat rendah, petani di dalam negeri menjadi korban. Impor, dalam konteks ini, menjadi disinsentif terhadap kegiatan usaha petani lokal.

Jadi, masyarakat konsumen tak boleh sampai dimanjakan oleh harga murah komoditas impor. Namun petani lokal juga jangan seperti diproteksi oleh tingginya harga komoditas pangan yang didatangkan dari mancanegara. Yang dibutuhkan petani memang bukan proteksi, melainkan insentif-insentif yang memungkinkan usaha mereka bisa lancar dan produktif.***

Jakarta, 7 April 2013