Pemerintah tampaknya sudah mantap untuk
melakukan koreksi kebijakan atas harga eceran bahan bakar minyak (BBM) subsidi.
Tetapi pada saat bersamaan pemerintah juga terkesankan galau untuk segera
mengambil keputusan. Paling tidak, pengambilan keputusan mengenai koreksi harga
BBM ini terasa berlarut-larut.
Tak jelas,
apa yang menjadi ganjalan bagi pemerintah untuk segera mengambil keputusan.
Yang pasti, pemerintah sadar betul bahwa kebijakan tentang BBM subsidi ini
harus segera dikoreksi -- karena masalah sudah begitu gamblang: subsidi BBM
kian membebani APBN.
Pada tahun
anggaran berjalan sekarang ini, kuota BBM subsidi ditetapkan sebanyak 46 juta
kiloliter. Kuota tersebut sangat mungkin jebol seperti tahun-tahun lalu --
notabene dengan angka amat signifikan. Tahun lalu, misalnya, kuota BBM subsidi
ditetapkan 40 juta kiloliter. Namun dalam perjalanan, kuota itu terlampaui menjadi
45,2 juta kiloliter.
Bahwa
kuota BBM subsidi ini bisa jebol lagi, itu sangat mungkin terjadi. Ya, karena
pertumbuhan pemilikan kendaraan bermotor tetap tinggi. Artinya, konsumsi BBM
pun semakin membubung. Konsumsi itu sendiri lebih mengarah kepada BBM subsidi
-- karena murah-meriah dibanding harga BBM nonsubsidi.
Jebolnya
kuota kuota BBM subsidi ini serta-merta berimplikasi langsung dan amat serius
kepada APBN: beban subsidi BBM semakin membengkak. Dalam APBN 2013, subsidi BBM
dipatok Rp 193,8 triliun. Kalau angka tersebut ternyata harus ditambah akibat
kuota BBM subsidi jebol, ruang gerak anggaran pun niscaya menjadi sempit.
Bahkan dengan subsidi BBM sebesar Rp 193,8 triliun saja, pembangunan ekonomi
nasional sulit bisa melaju sebagaimana mestinya. Jadi, kalau subsidi BBM
terpaksa ditambah, pembangunan ekonomi jelas kian tersandera.
Namun
kesadaran tentang itu ternyata tak serta-merta membuat pemerintah bertindak
sigap. Itu tadi: pemerintah amat kelihatan galau untuk segera mengambil
keputusan. Pemerintah seperti kurang percaya diri untuk cepat-cepat mengetokkan
palu.
Sejauh
ini, opsi koreksi kebijakan tentang BBM subsidi ini mengerucut kepada skema dua
harga. Untuk mobil pelat kuning dan sepeda motor, harga BBM subsidi akan
dipertahankan Rp 4.500 per liter. Sementara untuk mobil pelat hitam, termasuk
kendaraan dinas pemerintah, harga BBM subsidi ini dipatok naik menjadi Rp 6.500
per liter.
Apakah
pemerintah galau sendiri bahwa opsi kebijakan itu kurang layak
diimplementasikan? Sebab, seperti diingatkan sejumlah kalangan, opsi dua harga
BBM subsidi ini punya kemungkinan besar menimbulkan kekacauan sosial di
lapangan? Belum lagi berbagai tindak penyimpangan juga sangat potensial
terjadi?
Jika benar
itu yang menjadi soal, mestinya sejak awal pemerintah menahan diri: tidak
mengobral rencana kebijakan ke ruang publik. Mestinya, opsi kebijakan yang
hendak dipilih dan digulirkan ke tengah masyarakat betul-betul sudah matang
alias memang siap diimplementasikan.
Bersikap
hati-hati dan penuh pertimbangan dalam memutuskan kebijakan -- terlebih
menyangkut hajat hidup orang banyak -- memang perlu. Tetapi kalau kelewat
hati-hati, pemerintah jadi terkesankan lelet dan seperti kurang percaya diri.
Kesan
seperti itu sungguh tidak sehat karena menumbuhkan ketidakpastian di tengah
masyarakat.
Pemerintah
tentu paham betul bahwa ketidakpastian adalah lahan subur bagi berbagai tindak
spekulasi di masyarakat. Dan spekulkasi bisa berdampak destruktif karena
merugikan kepentingan luas.***