19 April 2013

Koreksi Harga Minyak


Pemerintah tampaknya sudah mantap untuk melakukan koreksi kebijakan atas harga eceran bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Tetapi pada saat bersamaan pemerintah juga terkesankan galau untuk segera mengambil keputusan. Paling tidak, pengambilan keputusan mengenai koreksi harga BBM ini terasa berlarut-larut.

Tak jelas, apa yang menjadi ganjalan bagi pemerintah untuk segera mengambil keputusan. Yang pasti, pemerintah sadar betul bahwa kebijakan tentang BBM subsidi ini harus segera dikoreksi -- karena masalah sudah begitu gamblang: subsidi BBM kian membebani APBN.

Pada tahun anggaran berjalan sekarang ini, kuota BBM subsidi ditetapkan sebanyak 46 juta kiloliter. Kuota tersebut sangat mungkin jebol seperti tahun-tahun lalu -- notabene dengan angka amat signifikan. Tahun lalu, misalnya, kuota BBM subsidi ditetapkan 40 juta kiloliter. Namun dalam perjalanan, kuota itu terlampaui menjadi 45,2 juta kiloliter.

Bahwa kuota BBM subsidi ini bisa jebol lagi, itu sangat mungkin terjadi. Ya, karena pertumbuhan pemilikan kendaraan bermotor tetap tinggi. Artinya, konsumsi BBM pun semakin membubung. Konsumsi itu sendiri lebih mengarah kepada BBM subsidi -- karena murah-meriah dibanding harga BBM nonsubsidi.

Jebolnya kuota kuota BBM subsidi ini serta-merta berimplikasi langsung dan amat serius kepada APBN: beban subsidi BBM semakin membengkak. Dalam APBN 2013, subsidi BBM dipatok Rp 193,8 triliun. Kalau angka tersebut ternyata harus ditambah akibat kuota BBM subsidi jebol, ruang gerak anggaran pun niscaya menjadi sempit. Bahkan dengan subsidi BBM sebesar Rp 193,8 triliun saja, pembangunan ekonomi nasional sulit bisa melaju sebagaimana mestinya. Jadi, kalau subsidi BBM terpaksa ditambah, pembangunan ekonomi jelas kian tersandera.

Namun kesadaran tentang itu ternyata tak serta-merta membuat pemerintah bertindak sigap. Itu tadi: pemerintah amat kelihatan galau untuk segera mengambil keputusan. Pemerintah seperti kurang percaya diri untuk cepat-cepat mengetokkan palu.

Sejauh ini, opsi koreksi kebijakan tentang BBM subsidi ini mengerucut kepada skema dua harga. Untuk mobil pelat kuning dan sepeda motor, harga BBM subsidi akan dipertahankan Rp 4.500 per liter. Sementara untuk mobil pelat hitam, termasuk kendaraan dinas pemerintah, harga BBM subsidi ini dipatok naik menjadi Rp 6.500 per liter.

Apakah pemerintah galau sendiri bahwa opsi kebijakan itu kurang layak diimplementasikan? Sebab, seperti diingatkan sejumlah kalangan, opsi dua harga BBM subsidi ini punya kemungkinan besar menimbulkan kekacauan sosial di lapangan? Belum lagi berbagai tindak penyimpangan juga sangat potensial terjadi?

Jika benar itu yang menjadi soal, mestinya sejak awal pemerintah menahan diri: tidak mengobral rencana kebijakan ke ruang publik. Mestinya, opsi kebijakan yang hendak dipilih dan digulirkan ke tengah masyarakat betul-betul sudah matang alias memang siap diimplementasikan.

Bersikap hati-hati dan penuh pertimbangan dalam memutuskan kebijakan -- terlebih menyangkut hajat hidup orang banyak -- memang perlu. Tetapi kalau kelewat hati-hati, pemerintah jadi terkesankan lelet dan seperti kurang percaya diri.
Kesan seperti itu sungguh tidak sehat karena menumbuhkan ketidakpastian di tengah masyarakat.

Pemerintah tentu paham betul bahwa ketidakpastian adalah lahan subur bagi berbagai tindak spekulasi di masyarakat. Dan spekulkasi bisa berdampak destruktif karena merugikan kepentingan luas.***


Jakarta, 19 April 2013