05 Mei 2014

Tumbal Pertumbuhan

Kinerja ekonomi nasional masih saja tertatih. Pertumbuhan ekonomi sekarang ini terus menapak di bawah 6 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi selama triwulan I/2014 hanya mencapai 5,12 persen. Itu turun relatif signifikan dibanding triwulan IV/2013 sebesar 5,72 persen.

Sepanjang tahun lalu, pertumbuhan ekonomi ini mencapai 5,78 persen. Angka tersebut turun dibanding pertumbuhan ekonomi selama tahun 2012 sebesar 6,23 persen. Lalu dibanding tahun 2011, pertumbuhan ekonomi tahun 2012 juga turun 0,27 persen.

Jadi, selama dua tahun terakhir ini pertumbuhan ekonomi cenderung terus turun. Penurunan tersebut, antara lain, karena kinerja ekspor masih tertekan. Selain kondisi ekonomi global belum juga kondusif sebagaimana disebut Kepala BPS Suryamin, kinerja ekpor juga tertekan oleh pelarangan ekspor bahan mentah mineral.

Di sisi lain, menurut Suryamin, perlambatan kinerja sektor pertanian juga memberi kontribusi terhadap pelemahan pertumbuhan ekonomi selama triwulan I/2014 ini. Kinerja sektor pertanian melemah karena pergeseran masa panen yang berdampak menurunkan produksi.

Selebihnya, masih menurut Suryamin, penurunan pertumbuhan ekonomi selama triwulan I/2014 juga disumbang oleh perlambatan kinerja sektor perdagangan dan sektor jasa keuangan. Walhasil, pertumbuhan ekonomi ini lebih ditopang permintaan domestik, terutama konsumsi rumah tangga.

Dipacu oleh momen perhelatan pemilu legislatif, konsumsi rumah tangga selama triwulan I/2014 mampu tumbuh 5,61 persen. Sementara konsumsi pemerintah relatif tidak signifikan -- hanya tumbuh 3,58 persen -- akibat pola belanja pada awal tahun yang memang selalu cenderung lemah.

Tetapi tren pertumbuhan ekonomi sekarang ini sejatinya  dikehendaki pemerintah. Bahkan, dalam rangka mengendalikan defisit transaksi berjalan yang terus memburuk sejak tahun 2011, pelemahan tersebut memang didesain bersama oleh otoritas fiskal dan moneter.

Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) merasa perlu mengerem pertumbuhan ekonomi lantaran defisit transaksi berjalan pada medio tahun lalu sudah terbilang gawat: sudah mencapai 4,4 persen produk domestik bruto. Itu bisa terjadi karena neraca perdagangan makin babak-belur didera defisit.

Kondisi tersebut gawat karena mengancam stabilitas makro ekonomi. Nilai tukar rupiah, misalnya, terus tertekan. Lalu inflasi juga cenderung menjulang.

Walhasil, kontraksi pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai pilihan strategis untuk mengamankan stabilitas makro ekonomi. Lalu, seiring beberapa paket kebijakan  ekonomi, langkah strategis itu diharapkan mampu memperbaiki iklim investasi. Dengan demikian, investasi pun bisa tumbuh sebagai pilar penting dalam struktur ekonomi nasional. Terlebih jika pemerintah serius membenahi problem klasik seperti buruknya infrastruktur, bobroknya layanan birokrasi karena berbelit dan sarat pungli, juga ketidakpastian hukum.

Namun di balik itu, pengamanan makro ekonomi melalui kontraksi pertumbuhan ini bukan tidak melahirkan ekses yang mengundang miris. Ekses tersebut terutama berupa penyusutan kapasitas penyerapan tenaga kerja, sehingga tingkat pengangguran pun mencuat.

BPS sendiri mencatat, per Agustus tahun lalu angka pengangguran melonjak 6,25 persen dibanding posisi Agustus 2012. Angka tersebut meleset dari target tahun 2013 sebesar 5,8 persen.

Karena itu, muncul pertanyaan: sampai kapan pertumbuhan ekonomi dikondisikan tetap rendah? Sampai seberapa dalam sektor ketenagakerjaan dikorbankan sebagai tumbal?***

5 Mei 2014