21 Mei 2014

Penghematan Anggaran

Pemerintah memangkas anggaran tahun berjalan sekarang ini senilai Rp 100 triliun. Langkah tersebut ditempuh untuk menjaga defisit anggaran berada di level 2,5 persen produk domestik bruto (PDB). Angka defisit itu sendiri merupakan hasil koreksi atas RAPBN 2014.

Semula, angka defisit dalam RAPBN 2014 adalah 1,69 persen PDB. Koreksi RAPBN 2014 dilakukan, karena subsidi energi, termasuk bahan bakar minyak (BBM) dan listrik, membengkak dari semula Rp 262,1 triliun menjadi Rp 392,1 triliun. Di sisi lain, pemasukan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara justru turun dari proyeksi Rp 1.280,4 triliun menjadi Rp 1.232,1 triliun.

Subsidi energi membengkak terutama karena konsumsi BBM terus menanjak. Sementara penurunan penerimaan pajak merupakan konsekuensi kontraksi pertumbuhan ekonomi yang dilakukan pemerintah dalam rangka mengatasi defisit transaksi berjalan. Di sisi lain, kinerja ekspor juga melemah akibat kebijakan pengendalian ekspor bahan mineral mentah, di samping kondisi pasar ekspor sendiri secara keseluruhan masih kurang bergairah.

Teoritis, defisit anggaran bisa diatasi dengan memotong subsidi BBM sebagai faktor utama yang membuat pengeluaran negara membengkak. Tetapi pemerintah tidak memiliki keberanian untuk itu. Karena situasi dan kondisi di dalam negeri secara sosial-politis saat ini dinilai riskan, pemerintah enggan menaikkan harga BBM subsidi sebagai solusi untuk memangkas subsidi energi yang membengkak.

Maka, pemangkasan anggaran belanja kementerian/lembaga pemerintah lantas menjadi pilihan. Sebagaimana digariskan Inpres No 4/2014, penghematan/pemangkasan anggaran ini terutama meliputi belanja honorarium, perjalanan dinas, biaya rapat/konsinyering, iklan, pembangunan gedung kantor, pengadaan kendaraan operasional, belanja bantuan sosial, sisa dana lelang atau swakelola, serta anggaran kegiatan yang belum terikat kontrak.

Tetapi sekarang ini tahun anggaran telanjur berjalan. Hingga Mei ini, anggaran niscaya sudah relatif banyak direalisasikan. Walhasil, penghematan/pemangkasan anggaran pun praktis difokuskan terhadap waktu yang masih tersisa hingga tahun anggaran berakhir. Justru itu, dalam bulan-bulan ke depan ini niscaya kegiatan kementerian/lembaga pemerintah menyusut drastis. Kementerian Pekerjaan Umum, misalnya, hampir pasti terpaksa menghentikan sejumlah proyek infrastruktur.

Itu berarti, pertumbuhan ekonomi pun relatif jadi terhambat. Risiko tersebut tak terhindarkan, karena Kementerian Pekerjaan Umum mendapat porsi terbesar pemangkasan anggaran, yaitu Rp 22,7 triliun atau 27 persen. Sementara proyek-proyek infrastruktur yang menjadi tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum ini berdampak vital dalam menghela ekonomi. Infrastruktur adalah tulang punggung kegiatan ekonomi.

Jadi, sekali lagi, pemangkasan anggaran -- khususnya di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum -- berdampak menghambat pertumbuhan ekonomi. Sementara pertumbuhan ekonomi justru merupakan prasyarat bagi simpul-simpul pemasukan negara, terutama lewat pemungutan pajak. Penerimaan pajak sendiri mestinya menjadi salah satu alternatif untuk menambal defisit anggaran.

Pemerintah seharusnya tidak terjebak dalam lingkaran setan seperti itu. Problem pembengkakan anggaran seharusnya tak melulu disiasati dengan pemangkasan belanja. Subsidi BBM yang menjadi faktor utama penyebab pembengkakan anggaran sepatutnya disiasati pula.

Mungkin benar, pemangkasan subsidi -- yang berimplikasi menaikkan harga BBM -- untuk saat sekarang ini secara sosial-politik terbilang riskan. Tetapi tak boleh dijadikan alasan untuk seolah menafikan begitu saja problem pembengkakan subsidi BBM. Paling tidak, program pengurangan konsumsi BBM subsidi harus lebih sungguh-sungguh direalisasikan. Implementasi program tersebut jangan lagi terkesankan setengah hati -- dan karena itu bersifat hangat-hangat tahi ayam!***


21 Mei 2014