23 Mei 2014

Momok Gejolak Harga

Setiap kali menghadapi momen besar nasional seperti Ramadhan dan Lebaran, harga kebutuhan pokok -- terutama pangan -- selalu bergejolak. Semua pihak -- tak terkecuali pemerintah -- nyaris dibuat tak berdaya. Bak bola salju, lonjakan harga selalu saja menggelinding demikian pasti. Tak terbendung. Tak terhindarkan.

Karena itu, gejolak harga seiring momen hari besar nasional ini sudah menjadi momok yang meresahkan. Meresahkan, karena daya beli masyarakat luas tergerogoti. Bahkan bagi masyarakat lapisan bawah, gejolak harga ini praktis menjadi faktor yang menurunkan kesejahteraan. Dalam bahasa ekonomi, kemiskinan pun bukan hanya semakin dalam, tetapi juga kian merunyak.

Menghadapi momen Ramadhan dan Lebaran tahun ini, yang tak lama lagi menjelang, pemerintah sekali lagi menunjukkan kemauan untuk mengendalikan harga kebutuhan pokok. Pertama, meski tidak spesifik merujuk kepada momen Ramadhan dan Lebaran, jauh-jauh hari pemerintah sudah mengalokasikan dana senilai Rp 2 triliun untuk stabilisasi harga.

Dana itu tiap saat bisa digunakan manakala harga kebutuhan pokok di masyarakat bergejolak. Secara operasional, dana tersebut terutama digunakan untuk menambah pasokan barang ke pasar.

Kedua, tak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri baru-baru ini mewanti-wanti berbagai pihak di pemerintahan agar mengantisipasi inflasi. Presiden meminta agar momen Ramadhan dan Lebaran jangan sampai mengerek inflasi secara berlebihan.

Presiden jelas sangat menginginkan pemerintah tak "dipecundangi" lagi oleh momok berupa lonjakan harga kebutuhan pokok pada momen Ramadhan dan Lebaran mendatang ini. Atas dasar itu, maka pemerintah pun mulai mengonsolidasikan fungsi koordinasi antarinstansi terkait -- termasuk pihak swasta yang bergerak di usaha ritel kebutuhan pokok.

Tentu, kita berharap antisipasi pemerintah itu efektif membuahkan hasil: harga kebutuhan pokok selama Ramadhan dan Lebaran relatif stabil. Tetapi perlu diingat bahwa fenomena gejolak harga seiring momen hari besar nasional ini juga merupakan cerminan buruknya pola transportasi serta kondisi infrstruktur jalan yang amburadul.

Selama ini, mobilitas sosial-ekonomi -- termasuk distribusi barang -- entah kenapa kelewat bertumpu kepada angkutan jalan raya. Sedikit sekali distribusi barang -- terutama bahan pokok bangan -- diwadahi oleh angkutan kereta api ataupun kapal laut. Bahkan kegiatan distribusi antarpulau sekali pun tak terkecuali banyak ditumpukan kepada angkutan jalan raya.

Kenyataan itu menyedihkan, karena infrastruktur jalan bukan hanya terbatas, melainkan juga amburadul -- dalam arti tak benar-benar menunjang kelancaran arus lalu lintas. Tengok saja kondisi jalan di pantai utara (pantura) Jawa -- juga jalan lintas Sumatera ataupun jalan trans Kalimantan -- yang banyak bergelombang atau bahkan bolong-bolong.

Kondisi itu membuat jalan pantura Jawa ataupun lintas Sumatera sama sekali tak memenuhi syarat sebagai urat nadi kegiatan sosial-ekonomi. Oleh sebab itu, ketika permintaan melonjak seiring momen hari besar nasional, pasokan barang ke pasar menjadi kedodoran. Terlebih jika spekulan ikut bermain.

Tak bisa tidak, harga-harga pun bergejolak tak terkendali. Itu pula yang selama ini membuat upaya pemerintah melakukan stabilisasi harga pun nyaris sia-sia.

Karena itu, mestinya, upaya stabilisasi harga lebih bersifat mendasar -- bukan sekadar program dadakan dan sementara seperti operasi pasar yang acap terbukti tidak ampuh mengatasi keadaan. Tanpa pendekatan mendasar, gejolak harga seiring momen hari besar senantiasa menjadi momok yang meresahkan.***

23 Mei 2014