06 Mei 2014

Krisis Waktu KPU

Komisi Pemilihan Umum (KPU) kini benar-benar berpacu dengan waktu. Mereka menghadapi krisis waktu. Mereka harus mampu menyelesaikan semua tahapan proses rekapitulasi suara hasil pemilu legislatif pada Jumat lusa (9/5). Jika gagal memenuhi tenggat, mereka melanggar undang-undang.

Semula, proses rekapitulasi ini dijadwalkan rampung Selasa kemarin. Namun hingga Selasa petang, sejak penghitungan suara mulai dilakukan 26 April lalu, KPU baru menetapkan hasil rekapitulasi di 13 provinsi dari 33 provinsi. Lalu 13 provinsi mengalami penundaan pengesahan hasil rekapitulasi karena sejumlah parpol peserta pemilu berkeberatan. Pengesahan baru bisa dilakukan nanti setelah Bawaslu menyampaikan rekomendasi. 

Walhasil, rekapitulasi di 7 provinsi hingga kemarin sama sekali belum  tergarap. Karena itu, KPU pun memundurkan waktu penyelesaian rekapitulasi suara ini menjadi Jumat lusa (9/5). Mau tidak mau, karena harus memenuhi amanat undang-undang, penyelesaian proses rekapitulasi ini menjadi berpepetan dengan jadwal pengumuman hasil pemilu yang ditenggat undang-undang paling lambat 9 Mei 2014.

Toh KPU mengaku optimistis mampu merampungkan seluruh tahapan rekapitulasi suara ini pada 9 Mei 2014, sehingga mereka tak sampai melanggar undang-undang. Sikap tersebut sungguh patut diapresiasi sekaligus didukung.

Kita tentu sangat berharap KPU benar-benar mampu menuntaskan semua pekerjaan seputar hasil pemilu legislatif ini tepat waktu serta dengan hasil baik, sehingga semua pihak -- terutama jajaran parpol peserta pemilu -- dapat menerimanya. Dengan demikian, perhelatan pemilu legislatif kali ini tidak lantas melahirkan keruwetan-keruwetan politik dan hukum. Dengan itu pula, hasil perhelatan tersebut pun bisa diharapkan legitimatif.

Meski begitu, melihat banjir keberatan jajaran parpol, perhelatan pemilu legislatif kali ini bukan tanpa cacat. Bahkan bisa dikatakan pemilu legislatif kali ini paling buruk dibanding perhelatan serupa sejak reformasi bergulir. Paling buruk, karena pemilu legislatif kali ini dibanjiri kecurangan dan praktik politik uang.

Dalam kondisi seperti itu, kinerja KPU sendiri tak sepenuhnya sigap. Seperti tergambar dalam proses penghitungan suara, manajemen kerja KPU sungguh tidak efisien dan tidak efektif. Waktu banyak terbuang oleh pembahasan masalah (gugatan parpol) yang seharusnya diselesaikan cukup di tingkat KPU kabupaten atau KPU provinsi.

KPU pusat memang seharusnya tak perlu sampai terbawa arus mengurusi masalah yang sebenarnya merupakan porsi KPU daerah. Untuk itu, mereka mestinya benar-benar mengindahkan asas proporsionalitas sekaligus tegas, lugas, namun tetap cermat, imparsial, dan adil.

Prinsip-prinsip itu pula yang sepatutnya diindahkan KPU dalam menghadapi krisis waktu sekarang ini. Mereka juga,  harus berani mengambil keputusan mengenai hasil pemilu legislatif ini sesuai tenggat. Berbagai keberatan parpol peserta pemilu, yang hampir pasti hingga penetapan dan pengumuman hasil pemilu nanti masih saja bersisa, biar menjadi bahan pekerjaan yang diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi.

Lagi pula berbagai parpol peserta pemilu kemungkinan besar tak akan begitu saja puas dan menerima penetapan hasil pemilu oleh KPU. Mereka juga niscaya tak akan berdiam diri. Mereka pasti tergerak mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi. 

Jadi, biar Mahkamah Konstitusi ikut berperan.***

6 Mei 2014