24 April 2014

Perbaikan Kinerja KPU

Penyelenggaraan pemilu presiden (pilpres), Juli mendatang, harus lebih baik daripada pelaksanaan hajat pemilu legislatif (pileg) tempo hari. Jika tidak, pelaksanaan pilpres niscaya sarat diwarnai kisruh -- entah lantaran daftar pemilih amburadul, distribusi logistik acakadut, tingkat partisipasi pemilih rendah, atau tindak kecurangan begitu marak.

Kelemahan-kelemahan seperti itu harus bisa diantisipasi dengan baik oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara pemilu. Bukan saja karena kelemahan-kelemahan itu niscaya menguras energi secara tidak perlu, melainkan juga terutama bisa mengurangi legitimasi hasil pilpres.

Legitimasi itu memang mutlak harus tinggi. Sebab, hasil pilpres yang kurang legitimatif niscaya membuat pemerintahan yang kemudian terbentuk menjadi tidak berwibawa -- bahkan tidak efektif dan miskin dukungan. Artinya, biaya besar yang dihabiskan untuk hajat pilres pun jelas menjadi sia-sia. Tak bisa tidak, penyelenggaraan kehidupan bernegara juga menjadi tak menjanjikan perbaikan kualitas hidup rakyat.

Nah, becermin kepada pelaksanaan pileg kemarin dulu, perhelatan pilpres Juli mendatang terasa agak mengkhawatirkan. Betapa tidak, karena dalam menghelat pileg, KPU nyata benar kedodoran. Di berbagai tahapan pesta demokrasi itu muncul sejumlah masalah yang terasa benar mengganggu.

Tentang itu, sebut saja pengerjaan daftar pemilih sementara sampai daftar pemilih tetap yang berlarut-larut. Itu pun tetap saja menyisakan banyak kekisruhan di sana-sini, seperti nama pemilih ganda atau pemilih tak terdaftar.
    
Di sisi lain, manajemen distribusi logistik juga amburadul. Tertukar atau kurangnya surat suara di sejumlah daerah, misalnya, tak harus terjadi kalau saja manajemen distribusi logistik ini rapi.

KPU juga kedodoran dalam menyosialisasikan pelaksanaan penyelenggaraan pemungutan suara, terutama di kalangan panitia pemilihan suara (PPS). Menurut pemberitaan, tak sedikit kasus pemungutan suara sampai harus diulang karena pihak PPS tak paham aturan main yang mengakibatan terjadinya pelanggaran-pelanggaran.

Tindak pelanggaran atau kecurangan, terutama pada tahap penghitungan suara, juga terasa marak dalam pelaksanaan pileg tempo hari. Itu terutama karena kinerja Bawaslu tidak optimal. Mereka dikeluhkan cenderung bekerja secara pasif: menunggu laporan atau pengaduan, bukannya mendeteksi langsung tindak kecurangan di berbagai tingkatan penghitungan suara.

Karena itu, tanpa evaluasi mendalam serta tanpa perbaikan yang bersifat komprehensif, berbagai masalah yang sarat mengundang kisruh itu bisa-bisa bermunculan lagi dalam pelaksanaan pilpres Juli mendatang. Artinya, pelaksanaan pilpres pun sulit diharapkan lebih baik dibanding perhelatan pileg tempo hari.

Pelaksanaan pilpres ataupun pileg baru dikatakan oke jika perhelatan tersebut memenuhi asas langsung, umum, bebas, rahasia (luber), serta jujur dan adil (jurdil). Selama asas luber dan jurdil ini lebih merupakan slogan ketimbang sistem nilai, perhelatan pilpres ataupun pileg tak bisa dikatakan berhasil.

Jadi, KPU -- juga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) selaku institusi kelengkapan penyelenggaraan pemilu -- harus menyisir berbagai kelemahan dalam tahap-tahapan pelaksanaan pileg tempo hari. Masalah-masalah yang muncul harus dipelajari dan diperbaiki dengan baik.

Dengan demikian, masalah-masalah itu tidak sampai muncul lagi dalam pelaksanaan pilpres nanti. Jadi, KPU maupun Bawaslu tak boleh sampai terantuk kepada kesalahan yang sama dalam menghelat pilpres ini. Bukankah cuma keledai yang biasa kejeblos pada lubang yang sama?***

24 April 2014