15 April 2014

Membayar Diat?

Negara memang berkewajiban melindungi atau membela setiap warga negara. Tak terkecuali  warga negara  yang terbelit masalah di luar negeri seperti dialami Satinah, tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi, sekarang ini. Satinah, TKI asal Ungaran, Semarang, terancam hukuman mati di Arab Saudi. Dia divonis bersalah telah membunuh majikannya pada tahun 2007 silam.

Namun perlindungan atau pembelaan itu harus proporsional dan objektif. Jangan sampai terjadi perlindungan atau pembelaan yang diberikan negara membuat warga negara yang bersalah lantas seolah-olah tak boleh dihukum. Yang harus dilakukan negara dalam memberikan perlindungan dan pembelaan ini adalah sebatas mengupayakan agar sanksi hukum tidak bersifat semena-mena -- bukan menghapuskan hukuman. 

Dalam konteks itu, kita mengapresiasi tindakan pemerintah sebagai representasi negara yang tak gigih mengupayakan agar Satinah tak sampai dihukum pancung sesuai putusan pengadilan di Arab Saudi. Bagi kita di Indonesia, hukum pancung memang terasa "kebangetan" sehingga sangat menyentuh nilai-nilai kemanusiaan.

Karena itu pula, berbagai kalangan yang bersimpati terhadap Satinah mendesak pemerintah agar tak sampai gagal mengupayakan pembebasan Satinah dari hukum pancung. Terlebih peluang ke arah itu terbuka karena -- sesuai aturan hukum di Arab Saudi -- pihak keluarga korban bersedia memberikan pemaafan dan pengampunan.

Tetapi pemberian maaf dan pengampunan itu tidak gratis. Pihak keluarga korban mengajukan  syarat: mereka menerima diat atau pembayaran "tebusan" material berupa uang. Yang jadi soal, diat yang mereka minta ternyata kelewat tinggi: sekitar Rp 21 miliar. 

Pemerintah sendiri tidak memiliki anggaran khusus untuk pembayaran diat. Bahwa sekarang ini konon sudah terkumpul dana sekitar Rp 10 miliar, itu merupakan hasil urunan berbagai kalangan -- termasuk penggalangan dana oleh sejumlah gerakan solidaritas di dalam negeri. Haruskah pemerintah menomboki kekurangan dana untuk pembayaran diat ini?

Jelas tidak. Pemerintah tak patut memanfaatkan dana negara untuk pembayaran diat. Pertama, karena vonis hukuman pancung bukan hanya dihadapi Satinah. Sejumlah banyak TKI lain, khususnya di Arab Saudi, juga menanti dieksekusi hukuman pancung  pula -- karena divonis bersalah  melakukan kesalahan kelas berat.

Lalu, ke depan ini sangat mungkin bermunculan kasus-kasus baru seperti dialami Satinah. Jadi, seperti kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, apakah negara harus terus-terusan membayar diat? Lagi pula, becermin pada sejumlah kasus sebelum ini, nilai diat yang diminta keluarga korban juga cenderung tidak rasional. Vonis hukuman pancung seolah-olah dimanfaatkan keluarga korban untuk "memeras" pihak terhukum.

Jadi, pembelaan dan perlindungan yang patut dilakukan pemerintah terhadap TKI di luar negeri yang terbelit kasus hukum -- termasuk vonis hukuman pancung -- adalah sebatas mengupayakan keringanan hukuman tanpa harus merogoh kocek membayar diat. Aneka pendekatan bisa ditempuh pemerintah untuk itu. Antara lain melibatkan pemerintah atau tokoh berpengaruh di Arab Saudi berunding dengan keluarga korban agar mereka membebaskan terpidana dari hukuman pancung tanpa meminta pembayaran diat.

Mungkin upaya itu tak selalu membuahkan hasil sesuai harapan, sehingga terpidana tetap harus menjalani hukuman mati. Tetapi sepanjang upaya pemerintah sejak tahap awal sudah maksimal, apa boleh buat hukuman itu harus direlakan dijalani TKI terpidana. Memang mengenaskan. Namun  bagaimanapun hukum harus dijunjung tinggi -- termasuk dengan menumbuhkan kesadaran di kalangan TKI agar mereka tidak berbuat salah yang fatal di mata hukum.***

15 April 2014