19 Agustus 2013

Rupiah di Tubir Jurang


Rupiah di tubir jurang. Ungkapan ini tidak berlebihan karena nilai tukar rupiah sudah terdepresiasi begitu dalam selama setahun lebih, dan di sisi lain pelehaman masih saja berlangsung.

Kemarin, kurs rupiah kembali melemah ke posisi Rp 10.451 per dolar AS. Memang, depresiasi nilai tukar ini juga dialami berbagai matang uang lain di kawasan regional. Tetapi, soalnya, depresiasi yang dialami rupiah kemarin begitu dalam.

Dibanding Jumat pekan lalu, nilai tukar rupiah -- berdasar kurs tengah Bank Indonesia -- kemarin terdepresiasi 59 poin. Padahal Januari tahun lalu, kurs rupiah ini masih di kisaran Rp 9.079 per dolar AS.

Dengan posisi terakhir Rp 10.451 per dolar AS, nilai tukar rupiah praktis menjadi kondisi terburuk dalam lima tahun terakhir. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap rupiah semakin meluntur. Terutama di pasar uang, orang cenderung kian tidak nyaman menggenggam rupiah.

Itu yang membuat rupiah kini benar-benar berada di tubir jurang. Kalau kepercayaan dan kenyamanan orang terus-terusan terkikis, bukan tidak mungkin rupiah benar-benar terjerembab ke jurang kehancuran dan melahirkan implikasi serius terhadap ekonomi nasional.

Tren pelemahan rupiah ini sekaligus menegaskan hasil kajian Invesment Research USB -- sebuah bank besar yang berkedudukan di Swis. Menurut kajian yang dipublikasikan belum lama berselang itu, rupiah merupakan satu-satunya mata uang di lingkungan ASEAN yang konstan mengalami pelemahan nilai tukar terhadap dolar AS sejak Januari 2012.

Berbeda dengan rupiah, selama Januari 2012 hingga medio Mei 2013 -- yang menjadi periode kajian Investment Research USB -- mata uang seperti peso Filipina, dolar Singapura/Brunei Darussalam, ringgit Malaysia, dan baht Thailand praktis menunjukkan tren menguat.

Jadi, kurs rupiah melenggang sendirian di jalur berbeda dengan mata-mata uang lain di ASEAN. Padahal selama tahun 2011, pergerakan kurs rupiah dibanding dolar AS ini tak terkecuali memperlihatkan grafik menguat seperti berbagai mata uang lain di ASEAN.

Tentu kita sangat berharap tren pelemahan rupiah ini bisa segera diakhiri. Untuk itu, pemerintah dituntut benar-benar serius membenahi kinerja ekonomi nasional, terutama kinerja ekspor. Sebab, seperti analisis Bank Indonesia (BI), kurs rupiah cenderung terus tertekan karena neraca transaksi berjalan semakin memburuk.

Menurut BI, dalam triwulan II/2013 neraca transaksi berjalan mengalami defisit 9,8 miliar dolar AS. Kondisi tersebut meningkat signifikan dibanding triwulan I/2013 sebesar 5,8 miliar dolar AS. Itu berarti, kinerja ekspor makin jauh tertinggal dibanding impor.

Jadi, pembenahan kinerja ekspor sungguh menjadi kebutuhan mendesak. Bagaimanapun, kinerja ekspor merupakan faktor yang bisa memicu sentimen positif maupun negatif di pasar uang. Kalau saja kinerja ekspor tetap memble, sehingga neraca transaksi berjalan terus defisit, kepercayaan terhadap rupiah niscaya kian menguap.

Selain kinerja ekspor, faktor-faktor yang selama ini membuat nilai impor kian membangkak juga harus bisa dikendalikan. Sebut saja pemenuhan kebutuhan akan bahan pokok pangan seperti beras, gula pasir, daging sapi, bawang, juga cabai tak boleh terus diandalkan terhadap impor. Terlebih bahan-bahan pokok seperti itu sebetulnya tak layak diimpor kalau saja kegiatan produksi di dalam negeri bisa dibuat optimal.***

Jakarta, 19 Agustus 2013