Rupiah di tubir
jurang. Ungkapan ini tidak berlebihan karena nilai tukar rupiah sudah
terdepresiasi begitu dalam selama setahun lebih, dan di sisi lain pelehaman
masih saja berlangsung.
Kemarin, kurs
rupiah kembali melemah ke posisi Rp 10.451 per dolar AS. Memang, depresiasi
nilai tukar ini juga dialami berbagai matang uang lain di kawasan regional.
Tetapi, soalnya, depresiasi yang dialami rupiah kemarin begitu dalam.
Dibanding Jumat
pekan lalu, nilai tukar rupiah -- berdasar kurs tengah Bank Indonesia --
kemarin terdepresiasi 59 poin. Padahal Januari tahun lalu, kurs rupiah ini
masih di kisaran Rp 9.079 per dolar AS.
Dengan posisi
terakhir Rp 10.451 per dolar AS, nilai tukar rupiah praktis menjadi kondisi
terburuk dalam lima tahun terakhir. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa
kepercayaan terhadap rupiah semakin meluntur. Terutama di pasar uang, orang
cenderung kian tidak nyaman menggenggam rupiah.
Itu yang membuat
rupiah kini benar-benar berada di tubir jurang. Kalau kepercayaan dan
kenyamanan orang terus-terusan terkikis, bukan tidak mungkin rupiah benar-benar
terjerembab ke jurang kehancuran dan melahirkan implikasi serius terhadap
ekonomi nasional.
Tren pelemahan
rupiah ini sekaligus menegaskan hasil kajian Invesment Research USB -- sebuah
bank besar yang berkedudukan di Swis. Menurut kajian yang dipublikasikan belum
lama berselang itu, rupiah merupakan satu-satunya mata uang di lingkungan ASEAN
yang konstan mengalami pelemahan nilai tukar terhadap dolar AS sejak Januari
2012.
Berbeda dengan
rupiah, selama Januari 2012 hingga medio Mei 2013 -- yang menjadi periode
kajian Investment Research USB -- mata uang seperti peso Filipina, dolar
Singapura/Brunei Darussalam, ringgit Malaysia, dan baht Thailand praktis menunjukkan
tren menguat.
Jadi, kurs rupiah
melenggang sendirian di jalur berbeda dengan mata-mata uang lain di ASEAN.
Padahal selama tahun 2011, pergerakan kurs rupiah dibanding dolar AS ini tak
terkecuali memperlihatkan grafik menguat seperti berbagai mata uang lain di
ASEAN.
Tentu kita sangat
berharap tren pelemahan rupiah ini bisa segera diakhiri. Untuk itu, pemerintah
dituntut benar-benar serius membenahi kinerja ekonomi nasional, terutama
kinerja ekspor. Sebab, seperti analisis Bank Indonesia (BI), kurs rupiah
cenderung terus tertekan karena neraca transaksi berjalan semakin memburuk.
Menurut BI, dalam
triwulan II/2013 neraca transaksi berjalan mengalami defisit 9,8 miliar dolar
AS. Kondisi tersebut meningkat signifikan dibanding triwulan I/2013 sebesar 5,8
miliar dolar AS. Itu berarti, kinerja ekspor makin jauh tertinggal dibanding
impor.
Jadi, pembenahan
kinerja ekspor sungguh menjadi kebutuhan mendesak. Bagaimanapun, kinerja ekspor
merupakan faktor yang bisa memicu sentimen positif maupun negatif di pasar
uang. Kalau saja kinerja ekspor tetap memble, sehingga neraca transaksi
berjalan terus defisit, kepercayaan terhadap rupiah niscaya kian menguap.
Selain kinerja
ekspor, faktor-faktor yang selama ini membuat nilai impor kian membangkak juga
harus bisa dikendalikan. Sebut saja pemenuhan kebutuhan akan bahan pokok pangan
seperti beras, gula pasir, daging sapi, bawang, juga cabai tak boleh terus
diandalkan terhadap impor. Terlebih bahan-bahan pokok seperti itu sebetulnya
tak layak diimpor kalau saja kegiatan produksi di dalam negeri bisa dibuat
optimal.***
Jakarta, 19
Agustus 2013