23 Agustus 2013

Koruptor Dibebaskan


Putusan Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali kasus korupsi yang diajukan mantan Dirut PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Sudjiono Timan sungguh menghentak sekaligus membuat gemas. Menghentak, karena putusan tersebut menganulir putusan MA di tingkat kasasi yang menghukum Sudjiono 15 tahun penjara plus denda Rp 50 juta dan pembayaran uang pengganti Rp 369 miliar.

Putusan itu juga menggemaskan, karena bisa menjadi preseden buruk bagi gerakan pemberantasan korupsi. Terlepas dari pertimbangan-pertimbangan hukum yang mendasarinya, putusan itu seolah ejekan bagi para pegiat antikorupsi: bahkan orang yang sudah dinyatakan bersalah melakukan korupsi di tingkat kasasi pun masih bisa bebas dari jerat hukum.

Kasus yang membelit Sudjiono Timan sendiri sejak awal sudah
menyedot perhatian publik. Terlebih setelah pengadilan menjatuhkan vonis bahwa dia bersalah: menyelewengkan kewenangan selaku Dirut PT BPUI, yaitu mengucurkan pinjaman
kepada pihak-pihak yang tidak patut menerimanya sesuai misi PT BPUI, sehingga negara dirugikan hingga Rp 369 miliar.

Sejak sepuluh tahun lalu, seiring proses hukum kasus yang membelitnya, Sudjiono Timan raib bak ditelan bumi. Karena itu, dia dinyatakan buron -- dan karena itu menjadi target pengejaran Tim Pemburu Aset yang dibentuk kejaksaan.

Meski hidup entah di mana, toh Sudjiono Timan terus melakukan upaya perlawanan hukum -- termasuk mengajukan permohonan peninjauan kembali kasusnya terkait putusan kasasi yang dijatuhkan MA. Permohonan peninjauan kembali diajukan melalui ahli warisnya, yaitu istrinya sendiri.

Putusan MA di tingkat peninjauan kembali atas kasus Sudjiono Timan ini sekaligus menjadi pelengkap atas sejumlah banyak kasus korupsi yang divonis ringan -- juga perlakuan istimewa yang dinikmati para terpidana korupsi di berbagai lembaga pemasyarakatan. Artinya, putusan tersebut praktis menambah buram potret penegakan hukum kasus-kasus korupsi selama ini.

Itu menjadi ironi di tengah keprihatinan bahwa praktik korupsi tak kunjung surut atau bahkan semakin merajalela. Dalam konteks ini, gerakan pembarantasan korupsi seolah-olah menjadi sia-sia karena tidak memberikan efek jera. Perbuatan korupsi seolah-olah menjadi sekadar perkara nasib kurang baik: kalau terbongkar harus repot berurusan dengan proses penegakan hukum.

Putusan MA yang membebaskan terpidana Sudjiono Timan di tahap peninjauan kembali itu sendiri, karena membatalkan putusan di tingkat kasasi, jelas ganjil. Bagaimana tidak, karena bisa-bisanya institusi yang sama melahirkan dua putusan berbeda.

Wajar jika putusan MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali kasus Sudjiono Timan itu dipandang sebagai musibah. Musibah, karena putusan itu jelas-jelas membebaskan orang yang sudah divonis sebagai terpidana korupsi. Juga musibah,  karena putusan tersebut sama sekali tidak menujukkan kepekaan terhadap isu korupsi sebagai penyakit sosial yang harus diberantas tuntas.

Sebagai musibah, putusan kasus korupsi Sudjiono Timan ditingkat peninjauan kembali ini tentu menyedihkan. Justru itu, majelis hakim bersangkutan layak diperiksa. Secara internal MA, pemeriksaan tersebut bisa dilakukan Bagian Pengawasan. Di sisi lain, pemeriksaan juga bisa dilakukan Komisi Yudisial.

Pemeriksaan itu tidak mengada-ada, karena bukan tidak mungkin mafia peradilan sudah menyusup ke tubuh MA. Bahkan sinyalemen atau desas-desus tentang itu sudak sejak lama santer terdengar.***


Jakarta, 23 Agustus 2013