Putusan Mahkamah
Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali kasus korupsi yang
diajukan mantan Dirut PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Sudjiono Timan
sungguh menghentak sekaligus membuat gemas. Menghentak, karena putusan tersebut
menganulir putusan MA di tingkat kasasi yang menghukum Sudjiono 15 tahun
penjara plus denda Rp 50 juta dan pembayaran uang pengganti Rp 369 miliar.
Putusan itu juga
menggemaskan, karena bisa menjadi preseden buruk bagi gerakan pemberantasan
korupsi. Terlepas dari pertimbangan-pertimbangan hukum yang mendasarinya,
putusan itu seolah ejekan bagi para pegiat antikorupsi: bahkan orang yang sudah
dinyatakan bersalah melakukan korupsi di tingkat kasasi pun masih bisa bebas
dari jerat hukum.
Kasus yang
membelit Sudjiono Timan sendiri sejak awal sudah
menyedot
perhatian publik. Terlebih setelah pengadilan menjatuhkan vonis bahwa dia
bersalah: menyelewengkan kewenangan selaku Dirut PT BPUI, yaitu mengucurkan
pinjaman
kepada
pihak-pihak yang tidak patut menerimanya sesuai misi PT BPUI, sehingga negara
dirugikan hingga Rp 369 miliar.
Sejak sepuluh
tahun lalu, seiring proses hukum kasus yang membelitnya, Sudjiono Timan raib
bak ditelan bumi. Karena itu, dia dinyatakan buron -- dan karena itu menjadi
target pengejaran Tim Pemburu Aset yang dibentuk kejaksaan.
Meski hidup entah
di mana, toh Sudjiono Timan terus melakukan upaya perlawanan hukum -- termasuk
mengajukan permohonan peninjauan kembali kasusnya terkait putusan kasasi yang
dijatuhkan MA. Permohonan peninjauan kembali diajukan melalui ahli warisnya,
yaitu istrinya sendiri.
Putusan MA di
tingkat peninjauan kembali atas kasus Sudjiono Timan ini sekaligus menjadi
pelengkap atas sejumlah banyak kasus korupsi yang divonis ringan -- juga
perlakuan istimewa yang dinikmati para terpidana korupsi di berbagai lembaga
pemasyarakatan. Artinya, putusan tersebut praktis menambah buram potret
penegakan hukum kasus-kasus korupsi selama ini.
Itu menjadi ironi
di tengah keprihatinan bahwa praktik korupsi tak kunjung surut atau bahkan
semakin merajalela. Dalam konteks ini, gerakan pembarantasan korupsi
seolah-olah menjadi sia-sia karena tidak memberikan efek jera. Perbuatan
korupsi seolah-olah menjadi sekadar perkara nasib kurang baik: kalau terbongkar
harus repot berurusan dengan proses penegakan hukum.
Putusan MA yang
membebaskan terpidana Sudjiono Timan di tahap peninjauan kembali itu sendiri,
karena membatalkan putusan di tingkat kasasi, jelas ganjil. Bagaimana tidak,
karena bisa-bisanya institusi yang sama melahirkan dua putusan berbeda.
Wajar jika
putusan MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali kasus Sudjiono Timan itu
dipandang sebagai musibah. Musibah, karena putusan itu jelas-jelas membebaskan
orang yang sudah divonis sebagai terpidana korupsi. Juga musibah, karena putusan tersebut sama sekali tidak
menujukkan kepekaan terhadap isu korupsi sebagai penyakit sosial yang harus
diberantas tuntas.
Sebagai musibah,
putusan kasus korupsi Sudjiono Timan ditingkat peninjauan kembali ini tentu
menyedihkan. Justru itu, majelis hakim bersangkutan layak diperiksa. Secara
internal MA, pemeriksaan tersebut bisa dilakukan Bagian Pengawasan. Di sisi
lain, pemeriksaan juga bisa dilakukan Komisi Yudisial.
Pemeriksaan itu
tidak mengada-ada, karena bukan tidak mungkin mafia peradilan sudah menyusup ke
tubuh MA. Bahkan sinyalemen atau desas-desus tentang itu sudak sejak lama
santer terdengar.***
Jakarta, 23
Agustus 2013