30 Agustus 2013

Tantangan Fiskal


RAPBN 2013, yang pekan lalu diajukan pemerintah ke DPR untuk dibahas, sarat optimisme. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, diasumsikan 6,8 hingga 7,2 persen. Angka tersebut meningkat dibanding asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN Perubahan 2012 sebesar 6,5 persen.

Di tengah optimisme seperti itu, perekonomian global justru belum juga menunjukkan gambaran melegakan. Krisis ekonomi masih membelit negara-negara maju, terutama di belahan Eropa dan AS. Meski para pemimpin Eropa intensif menggalang  langkah-langkah penanganan, ekonomi mereka tetap saja mengundang gusar. Begitu pula AS sebagai raksasa ekonomi dunia belum benar-benar bisa melepaskan diri dari deraan krisis.

Kenyataan seperti itu menggusarkan karena sedikit banyak niscaya berimbas ke lingkup global, termasuk Indonesia. Bahkan dampak krisis ekonomi di belahan Eropa dan AS ini sebenarnya sudah mulai berimbas negatif terhadap kehidupan ekonomi nasional. Imbas itu gamblang tecermin dalam kinerja ekspor Indonesia belakangan ini yang menunjukkan kecenderungan memburuk. Terutama ekspor komoditas primer, yang notabene selama ini merupakan andalan ekspor nasional, jeblok.

Jadi, kinerja ekspor memburuk karena harga komoditas primer primer seperti batubara dan minyak sawit mentah (CPO) rontok. Karena itu pula, defisit dalam neraca perdagangan pun belakangan ini terkuak dan cenderung terus melebar.

Kenyataan itu merupakan risiko tak terhindarkan karena Indonesia telanjur menjadikan negara-negara yang kini dilanda krisis ekonomi sebagai pasar utama. Jadi, di tengah krisis ekonomi yang masih membelit negara-negara tujuan ekspor ini, kinerja ekspor nasional pun tak bisa banyak diharapkan segera membaik.

Jadi, dalam perspektif itu, secara keseluruhan prospek ekonomi nasional juga sebenarnya tak kinclong-kinclong amat. Bahkan mengingat tekanan-tekanan beban fiskal yang dihadapi pemerintah sebagaimana terpapar dalam RAPBN 2013 -- juga di samping tekanan eksternal sebagai imbas krisis ekonomi global -- bisa dikatakan kehidupan ekonomi nasional ke depan ini tergolong rawan terhempas.

Meski begitu, optimisme pemerintah mengenai prospek ekonomi tahun depan ini patut diapresiasi. Paling tidak, karena optimisme itu menunjukkan sikap percaya diri serta tekad meraih kemajuan. Dengan membuat asumsi-asumsi ekonomi serba optimistis, pemerintah tak punya untuk berleha-leha.

Dengan kata lain, optimisme pemerintah merupakan pijakan untuk bekerja keras -- terutama merealisasikan pendapatan negara sebagai amunisi dalam meraih target-target ekonomi. Dalam konteks ini, penerimaan pajak jelas semakin menjadi
andalan.

Pemerintah sendiri, dalam RAPBN 2013, menargetkan pendapatan negara sebesar Rp 1.507,7 triliun. Nah, untuk itu penerimaan pajak ditargetkan memberi kontribusi 80 persen atau senilai Rp 1.78,9 triliun. Angka tersebut naik 16 persen dibanding penerimaan pajak dalam APBNP 2012. Dengan itu, rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 12,7 persen.

Memang, angka itu sudah meningkat 11,9 persen dibanding
rasio pajak dalam APBN 2012. Namun, mengingat situasi dan kondisi ekonomi global yang tidak cukup kondusif, kenaikan tersebut masih terasa kurang memadai untuk menghadapi tantangan-tantangan fiskal yang dihadapi pemerintah.

Dengan kata lain, penerimaan pajak mestinya jauh lebih besar dari ekspektasi atau target pemerintah sebagaimana tertuang dalam RAPBN 2013. Untuk itu, kinerja perpajakan mutlak mesti kinclong. Dalam konteks ini pula, kebocoran akibat praktik kongkalingkong antara oknum pegawai pajak dan wajib pajak harus bisa ditekan habis-habisan.***

Jakarta, 30 Agustus 2013