Bank Indonesia
(BI) mulai menerapkan banyak jurus untuk meredam tren penurunan nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS belakangan ini. Selain intensif melakukan intervensi
ke pasar valuta asing dengan mengguyurkan dolar AS sejak pekan lalu, BI juga
mulai menerap surat utang negara (SUN).
Lalu, kemarin BI
juga memutuskan menaikkan suku bunga deposit fasility dan BI Rate masing-masing
sebesar 25 basis poin menjadi 4,25 persen dan 6 persen. Selain itu, pimpinan BI
pula masih menyiapkan jurus-jurus lain siap digulirkan jika memang diperlukan.
Efektivitas
berbagai jurus itu sendiri masih harus ditunggu dalam beberapa hari ini.
Mudah-mudahan, tentu, kurs rupiah segera stabil alias tidak terus terseok-seok
lagi seperti dalam beberapa pekan terakhir. Namun kalau ternyata kurs rupiah
tetap loyo, kita layak khawatir.
Pertama, karena
upaya stabilisasi kurs ini sudah makan ongkos yang tak bisa dibilang kecil.
Ongkos tersebut paling tidak sudah mencapai 2,12 miliar dolar AS, sehingga cadangan
devisa pun susut menjadi 105,149 miliar dolar AS per 31 Mei lalu.
Jadi, kalau
intervensi ke pasar valuta asing terus dilakukan BI, sementara kurs rupiah
tetap cenderung melemah, berarti ongkos yang dikeluarkan semakin besar sehingga
cadangan devisa kian terkuras. Kenyataan seperti itu secara psikologis sungguh
rentan terhadap kurs rupiah karena bisa mengundang reaksi negatif di pasar
uang.
Kedua, kita juga
layak khawatir karena kurs rupiah sempat menembus level psikologis Rp 10.000
per dolar AS. Jika hari-hari ke depan ini kurs rupiah ternyata masih cenderung
tertekan, bukan tidak mungkin batas psikologis itu jebol lagi. Jika itu yang
terjadi, kepanikan hampir pasti melanda pasar valas. Konsekuensinya, tekanan
terhadap rupiah makin berat lagi.
Kemungkinan ke
arah itu bukan mustahil. Di satu sisi, karena jurus-jurus yang ditebar BI belum
tentu memang merupakan jawaban yang pas untuk mengatasi tren depresiasi rupiah
ini. Di sisi lain, juga karena bukan tidak mungkin aneka jurus itu malah dipersepsi
pelaku pasar sebagai wujud kepanikan BI dalam menghadapi tekanan terhadap
rupiah belakangan ini.
Sebenarnya, upaya
stabilisasi rupiah ini bukan melulu tegas BI. Bagaimanapun, pemerintah juga
memiliki tanggung jawab untuk berbuat konkret dan padu dengan apa yang
dilakukan BI.
Namun pemerintah
justru terkesankan masih tenang-tenang saja. Seolah-olah pemerintah menyerahkan
penuh upaya stabilisasi rupiah kepada BI. Padahal, boleh jadi, sumber masalah
yang memicu pelemahan kurs rupiah sekarang ini terletak di sisi pemerintahan.
Tentang itu,
sejumlah kalangan sudah sejak jauh hari mengingatkan bahwa faktor yang
belakangan menekan kurs rupiah ini antara lain rencana penaikan harga bahan
bakar minyak (BBM) subsidi yang terus menggantung akibat keragu-raguan
pemerintah mengambil keputusan. Juga soal defisit dalam neraca pembayaran yang
belum terlihat ditangani pemerintah secara serius dan mengesankan. Belum lagi
beban utang pemerintah yang sudah menumpuk -- melampaui Rp 2.000 triliun --,
sementara utang baru terus saja dijala.
Walhasil,
pemerintah sangat diharapkan segera berbuat. Pemerintah jangan lagi bersikap
busisess as usual dalam menghadapi tren pelemahan rupiah ini. Bahu-membahu
bersama BI, pemerintah harus segera melakukan langkah konkret untuk meredakan
tren itu. Antara lain dengan merespons isu-isu yang memicu sentimen negatif di
masyarakat, terutama di pasar uang.***
Jakarta, 25
Agustus 2013