25 Agustus 2013

Jurus Mengatasi Rupiah


Bank Indonesia (BI) mulai menerapkan banyak jurus untuk meredam tren penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS belakangan ini. Selain intensif melakukan intervensi ke pasar valuta asing dengan mengguyurkan dolar AS sejak pekan lalu, BI juga mulai menerap surat utang negara (SUN).

Lalu, kemarin BI juga memutuskan menaikkan suku bunga deposit fasility dan BI Rate masing-masing sebesar 25 basis poin menjadi 4,25 persen dan 6 persen. Selain itu, pimpinan BI pula masih menyiapkan jurus-jurus lain siap digulirkan jika memang diperlukan.

Efektivitas berbagai jurus itu sendiri masih harus ditunggu dalam beberapa hari ini. Mudah-mudahan, tentu, kurs rupiah segera stabil alias tidak terus terseok-seok lagi seperti dalam beberapa pekan terakhir. Namun kalau ternyata kurs rupiah tetap loyo, kita layak khawatir.

Pertama, karena upaya stabilisasi kurs ini sudah makan ongkos yang tak bisa dibilang kecil. Ongkos tersebut paling tidak sudah mencapai 2,12 miliar dolar AS, sehingga cadangan devisa pun susut menjadi 105,149 miliar dolar AS per 31 Mei lalu.

Jadi, kalau intervensi ke pasar valuta asing terus dilakukan BI, sementara kurs rupiah tetap cenderung melemah, berarti ongkos yang dikeluarkan semakin besar sehingga cadangan devisa kian terkuras. Kenyataan seperti itu secara psikologis sungguh rentan terhadap kurs rupiah karena bisa mengundang reaksi negatif di pasar uang.

Kedua, kita juga layak khawatir karena kurs rupiah sempat menembus level psikologis Rp 10.000 per dolar AS. Jika hari-hari ke depan ini kurs rupiah ternyata masih cenderung tertekan, bukan tidak mungkin batas psikologis itu jebol lagi. Jika itu yang terjadi, kepanikan hampir pasti melanda pasar valas. Konsekuensinya, tekanan terhadap rupiah makin berat lagi.

Kemungkinan ke arah itu bukan mustahil. Di satu sisi, karena jurus-jurus yang ditebar BI belum tentu memang merupakan jawaban yang pas untuk mengatasi tren depresiasi rupiah ini. Di sisi lain, juga karena bukan tidak mungkin aneka jurus itu malah dipersepsi pelaku pasar sebagai wujud kepanikan BI dalam menghadapi tekanan terhadap rupiah belakangan ini.

Sebenarnya, upaya stabilisasi rupiah ini bukan melulu tegas BI. Bagaimanapun, pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk berbuat konkret dan padu dengan apa yang dilakukan BI.
Namun pemerintah justru terkesankan masih tenang-tenang saja. Seolah-olah pemerintah menyerahkan penuh upaya stabilisasi rupiah kepada BI. Padahal, boleh jadi, sumber masalah yang memicu pelemahan kurs rupiah sekarang ini terletak di sisi pemerintahan.

Tentang itu, sejumlah kalangan sudah sejak jauh hari mengingatkan bahwa faktor yang belakangan menekan kurs rupiah ini antara lain rencana penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi yang terus menggantung akibat keragu-raguan pemerintah mengambil keputusan. Juga soal defisit dalam neraca pembayaran yang belum terlihat ditangani pemerintah secara serius dan mengesankan. Belum lagi beban utang pemerintah yang sudah menumpuk -- melampaui Rp 2.000 triliun --, sementara utang baru terus saja dijala.

Walhasil, pemerintah sangat diharapkan segera berbuat. Pemerintah jangan lagi bersikap busisess as usual dalam menghadapi tren pelemahan rupiah ini. Bahu-membahu bersama BI, pemerintah harus segera melakukan langkah konkret untuk meredakan tren itu. Antara lain dengan merespons isu-isu yang memicu sentimen negatif di masyarakat, terutama di pasar uang.***

Jakarta, 25 Agustus 2013