Nilai tukar
rupiah maupun harga saham-saham masih saja cenderung melorot. Apakah ini
berarti empat paket kebijakan ekonomi, yang diluncurkan pemerintah akhir pekan
lalu, sama sekali tak direken pasar?
Secara
konseptual, paket kebijakan itu sebenarnya oke: memberi sinyal positif tentang
arah perbaikan ekonomi nasional di tengah gonjang-ganjing krisis ekonomi global
sekarang ini. Tetapi, boleh jadi, pelaku pasar uang maupun pasar modal tidak
yakin bahwa perbaikan itu bisa menjadi kenyataan.
Dengan kata lain,
pelaku pasar terkesankan meragukan komitmen pemerintah melakukan pembenahan
ekonomi sebagaimana diniatkan dalam empat paket kebijakan tadi. Bagi mereka,
komitmen bagus saja tidak cukup. Bagaimanapun, komitmen baru punya makna kalau
terjamin bukan sekadar lip service alias bukan isapan jempol belaka.
Patut diakui,
selama ini pemerintah memang acap mempertontonkan tabiat kurang elok: tidak
konsisten melaksanakan kebijakan ataupun program kerja. Banyak kebijakan dan
program kerja terkesankan dilaksanakan tidak dengan sepenuh hati alias
ogah-ogahan. Paling tidak, kesungguhan merealisasikan kebijakan dan program
acap lambat-laun mengendur -- lalu menguap begitu saja -- seiring perjalanan
waktu.
Sekadar contoh
konkret adalah larangan transaksi di dalam negeri menggunakan valuta asing,
terutama dolar AS. Kebijakan tersebut diluncurkan pemerintah tahun 2008 silam
di tengah gonjang-ganjing krisis global yang membuat kurs rupiah tertekan hebat
-- mirip situasi dan kondisi sekarangn ini.
Perlahan tapi
pasti, kebijakan itu menguap entah ke mana. Bahkan, sebagaimana tecermin dalam
laporan kekayaan yang disampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
para pejabat publik di pemerintahan tanpa sungkan-sungkan memperlihatkan
kegandrungan menyimpan dana dalam denominasi valuta asing, khususnya dolar AS.
Karena itu, wajar
jika sekarang ini pelaku pasar terkesankan skeptis atau bahkan tak yakin bahwa
empat paket kebijakan pemerintah dalam rangka penyelamatan ekonomi nasional
bisa efektif diimplementasikan. Tidak mengherankan, pergerakan kurs rupiah
maupun indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pun
terus terkoreksi secara negatif.
Berpijak kepada
kecenderungan seperti itu, tak bisa lain bagi pemerintah kecuali segera
menjabarkan empat paket kebijakan itu menjadi program-program kerja yang fokus
terarah dan nyata terukur. Juga, ibarat lomba marathon, pemerintah sama sekali
tak boleh lelet dan tak boleh lelah berlari terus sampai garis finis.
Bersikap cermat
dan jeli dalam merumuskan program kerja memang perlu. Terlebih program kerja
itu amat diharapkan menjadi penawar terpaan krisis ekonomi global. Tetapi sikap
tersebut tak boleh sampai menimbulkan persepsi negatif di mata publik: seolah
pemerintah setengah hati untuk melangkah.
Persepsi publik
seperti itu bukan hanya tidak produktif, melainkan juga berbahaya: ekonomi
nasional -- wabil khusus kurs rupiah dan IHSG -- bisa semakin terpuruk. Jika
itu yang terjadi, paket kebijakan ekonomi yang pekan lalu diluncurkan
pemerintah niscaya tak punya arti sama sekali. Di sisi lain, jelas: kehidupan
ekonomi nasional niscaya amburadul diterjang krisis.***
Jakarta, 28
Agustus 2013