28 Agustus 2013

Paket Kebijakan Ekonomi


Nilai tukar rupiah maupun harga saham-saham masih saja cenderung melorot. Apakah ini berarti empat paket kebijakan ekonomi, yang diluncurkan pemerintah akhir pekan lalu, sama sekali tak direken pasar?

Secara konseptual, paket kebijakan itu sebenarnya oke: memberi sinyal positif tentang arah perbaikan ekonomi nasional di tengah gonjang-ganjing krisis ekonomi global sekarang ini. Tetapi, boleh jadi, pelaku pasar uang maupun pasar modal tidak yakin bahwa perbaikan itu bisa menjadi kenyataan.

Dengan kata lain, pelaku pasar terkesankan meragukan komitmen pemerintah melakukan pembenahan ekonomi sebagaimana diniatkan dalam empat paket kebijakan tadi. Bagi mereka, komitmen bagus saja tidak cukup. Bagaimanapun, komitmen baru punya makna kalau terjamin bukan sekadar lip service alias bukan isapan jempol belaka.

Patut diakui, selama ini pemerintah memang acap mempertontonkan tabiat kurang elok: tidak konsisten melaksanakan kebijakan ataupun program kerja. Banyak kebijakan dan program kerja terkesankan dilaksanakan tidak dengan sepenuh hati alias ogah-ogahan. Paling tidak, kesungguhan merealisasikan kebijakan dan program acap lambat-laun mengendur -- lalu menguap begitu saja -- seiring perjalanan waktu.

Sekadar contoh konkret adalah larangan transaksi di dalam negeri menggunakan valuta asing, terutama dolar AS. Kebijakan tersebut diluncurkan pemerintah tahun 2008 silam di tengah gonjang-ganjing krisis global yang membuat kurs rupiah tertekan hebat -- mirip situasi dan kondisi sekarangn ini.

Perlahan tapi pasti, kebijakan itu menguap entah ke mana. Bahkan, sebagaimana tecermin dalam laporan kekayaan yang disampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), para pejabat publik di pemerintahan tanpa sungkan-sungkan memperlihatkan kegandrungan menyimpan dana dalam denominasi valuta asing, khususnya dolar AS.

Karena itu, wajar jika sekarang ini pelaku pasar terkesankan skeptis atau bahkan tak yakin bahwa empat paket kebijakan pemerintah dalam rangka penyelamatan ekonomi nasional bisa efektif diimplementasikan. Tidak mengherankan, pergerakan kurs rupiah maupun indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pun terus terkoreksi secara negatif.

Berpijak kepada kecenderungan seperti itu, tak bisa lain bagi pemerintah kecuali segera menjabarkan empat paket kebijakan itu menjadi program-program kerja yang fokus terarah dan nyata terukur. Juga, ibarat lomba marathon, pemerintah sama sekali tak boleh lelet dan tak boleh lelah berlari terus sampai garis finis.

Bersikap cermat dan jeli dalam merumuskan program kerja memang perlu. Terlebih program kerja itu amat diharapkan menjadi penawar terpaan krisis ekonomi global. Tetapi sikap tersebut tak boleh sampai menimbulkan persepsi negatif di mata publik: seolah pemerintah setengah hati untuk melangkah.

Persepsi publik seperti itu bukan hanya tidak produktif, melainkan juga berbahaya: ekonomi nasional -- wabil khusus kurs rupiah dan IHSG -- bisa semakin terpuruk. Jika itu yang terjadi, paket kebijakan ekonomi yang pekan lalu diluncurkan pemerintah niscaya tak punya arti sama sekali. Di sisi lain, jelas: kehidupan ekonomi nasional niscaya amburadul diterjang krisis.***

Jakarta, 28 Agustus 2013