Gerakan hemat
energi, khususnya migas, semakin urgen dilaksanakan. Urgen, karena migas --
notabene harus diimpor -- merupakan sumber utama defisit dalam neraca
perdagangan. Migas memberi kontribusi besar dalam defisit neraca perdagangan
ini akibat konsumsi terus membengkak.
Data menunjukkan,
tahun lalu impor migas ini mencapai 43 miliar dolar AS. Angka ini berlipat
dibanding posisi tahun 2010 sebesar 22 miliar dolar AS.
Kenyataan seperti
itu tak harus terjadi kalau saja neraca perdagangan migas kita tidak defisit.
Tetapi begitulah: akibat konsumsi yang tak terkendali, impor migas kita jauh
lebih tinggi dibanding produksi migas di dalam negeri. Selama semester I/2013
saja, impor migas mencapai 22,105 juta dolar AS, sementara ekspor hanya 16,284
juta dolar AS.
Dengan kondisi
kurs rupiah yang terdepresiasi begitu dalam, beban impor migas ini menjadi
sungguh kian menyesakkan. Itu pula yang serta-merta menorehkan kondisi defisit
dalam neraca perdagangan semakin kritis. Kondisi tersebut, tak bisa tidak,
menjadi sentimen negatif yang amat menekan rupiah belakangan ini.
Kita menghargai
kesadaran dan tekad pemerintah untuk mengendalikan masalah defisit dalam neraca
perdagangan ini. Tekad tersebut ditunjukkan dengan meluncurkan paket kebijakan
yang memberi insentif terhadap kegiatan ekspor.
Tetapi itu tidak
cukup. Bagaimanapun, penggalakan ekspor harus dilakukan paralel dengan upaya
nyata menekan impor, termasuk impor migas sebagai faktor yang memberi
kontribusi besar terhadap defisit dalam neraca perdagangan. Impor migas sendiri
hanya mungkin bisa ditekan secara signifikan dengan menurunkan konsumsi migas.
Karena itu,
gerakan hemat energi menjadi sangat urgen. Gerakan ini harus benar-benar
dilakukan dalam berbagai wujud dan berbagai lini. Jika tidak, pemerintah
niscaya dihadapkan pada kondisi sulit menyangkut keuangan negara. Beban impor
migas pasti sangat menggerogoti APBN, sehingga pemerintah sangat mungkin harus
mempertimbangkan lagi opsi penaikan harga BBM.
Tetapi realitas
di lapangan menunjukkan, masyarakat masih belum lagi sembuh akibat
"luka" penaikan harga BBM beberapa waktu lalu. Bahkan bagi pemerintah
sendiri, penaikan harga BBM juga sangat menyulitkan karena menjadi biang kerok
inflasi.
Jadi, secara psikologis,
penaikan kembali harga BBM bukan opsi yang layak dipertimbangkan untuk
mengatasi defisit dalam neraca pembayaran saat ini. Secara sosial dan politis,
penaikan kembali harga BBM untuk sementara ini juga bukan opsi strategis --
karena berdampak menambah dalam "luka" yang diderita khalayak luas.
Walhasil, gerakan
hemat energi adalah pilihan paling mungkin dan berdampak strategis dalam
menekan impor migas. Karena itu, sekali lagi, gerakan tersebut sangat urgen
digelorakan.
Pemerintah
sendiri sudah menyadari manfaat gerakan hemat energi ini. Namun pemerintah
selama ini justru tidak konsisten, sehingga gerakan hemat energi hanya menjadi
program hangat-hangat tahi ayam. Gerakan hemat energi sekadar dicanangkan
sebagai wujud kekalutan pemerintah menghadapi gejolak harga migas di pasar
global. Ketika tekanan gejolak itu sudah lewat, pemerintah seperti alpa
terhadap gerakan hemat energi ini. Bahkan, seperti tecermin dalam program mobil
murah, pemerintah seolah memberi insentif terhadap faktor yang justru
meningkatkan konsumsi BBM.***
Jakarta, 29
Agustus 2013