29 Agustus 2013

Hemat Energi

Gerakan hemat energi, khususnya migas, semakin urgen dilaksanakan. Urgen, karena migas -- notabene harus diimpor -- merupakan sumber utama defisit dalam neraca perdagangan. Migas memberi kontribusi besar dalam defisit neraca perdagangan ini akibat konsumsi terus membengkak. 

Data menunjukkan, tahun lalu impor migas ini mencapai 43 miliar dolar AS. Angka ini berlipat dibanding posisi tahun 2010 sebesar 22 miliar dolar AS.

Kenyataan seperti itu tak harus terjadi kalau saja neraca perdagangan migas kita tidak defisit. Tetapi begitulah: akibat konsumsi yang tak terkendali, impor migas kita jauh lebih tinggi dibanding produksi migas di dalam negeri. Selama semester I/2013 saja, impor migas mencapai 22,105 juta dolar AS, sementara ekspor hanya 16,284 juta dolar AS.

Dengan kondisi kurs rupiah yang terdepresiasi begitu dalam, beban impor migas ini menjadi sungguh kian menyesakkan. Itu pula yang serta-merta menorehkan kondisi defisit dalam neraca perdagangan semakin kritis. Kondisi tersebut, tak bisa tidak, menjadi sentimen negatif yang amat menekan rupiah belakangan ini.

Kita menghargai kesadaran dan tekad pemerintah untuk mengendalikan masalah defisit dalam neraca perdagangan ini. Tekad tersebut ditunjukkan dengan meluncurkan paket kebijakan yang memberi insentif terhadap kegiatan ekspor.

Tetapi itu tidak cukup. Bagaimanapun, penggalakan ekspor harus dilakukan paralel dengan upaya nyata menekan impor, termasuk impor migas sebagai faktor yang memberi kontribusi besar terhadap defisit dalam neraca perdagangan. Impor migas sendiri hanya mungkin bisa ditekan secara signifikan dengan menurunkan konsumsi migas.

Karena itu, gerakan hemat energi menjadi sangat urgen. Gerakan ini harus benar-benar dilakukan dalam berbagai wujud dan berbagai lini. Jika tidak, pemerintah niscaya dihadapkan pada kondisi sulit menyangkut keuangan negara. Beban impor migas pasti sangat menggerogoti APBN, sehingga pemerintah sangat mungkin harus mempertimbangkan lagi opsi penaikan harga BBM.

Tetapi realitas di lapangan menunjukkan, masyarakat masih belum lagi sembuh akibat "luka" penaikan harga BBM beberapa waktu lalu. Bahkan bagi pemerintah sendiri, penaikan harga BBM juga sangat menyulitkan karena menjadi biang kerok inflasi.

Jadi, secara psikologis, penaikan kembali harga BBM bukan opsi yang layak dipertimbangkan untuk mengatasi defisit dalam neraca pembayaran saat ini. Secara sosial dan politis, penaikan kembali harga BBM untuk sementara ini juga bukan opsi strategis -- karena berdampak menambah dalam "luka" yang diderita khalayak luas.

Walhasil, gerakan hemat energi adalah pilihan paling mungkin dan berdampak strategis dalam menekan impor migas. Karena itu, sekali lagi, gerakan tersebut sangat urgen digelorakan.

Pemerintah sendiri sudah menyadari manfaat gerakan hemat energi ini. Namun pemerintah selama ini justru tidak konsisten, sehingga gerakan hemat energi hanya menjadi program hangat-hangat tahi ayam. Gerakan hemat energi sekadar dicanangkan sebagai wujud kekalutan pemerintah menghadapi gejolak harga migas di pasar global. Ketika tekanan gejolak itu sudah lewat, pemerintah seperti alpa terhadap gerakan hemat energi ini. Bahkan, seperti tecermin dalam program mobil murah, pemerintah seolah memberi insentif terhadap faktor yang justru meningkatkan konsumsi BBM.***


Jakarta, 29 Agustus 2013