13 September 2011

Produksi Pangan


Ada yang salah dalam kebijakan pangan kita selama ini. Atau barangkali kita memang termasuk bangsa yang tidak becus dalam mengurus masalah pangan ini. Betapa tidak, karena pemenuhan kebutuhan pangan kita makin bergantung kepada impor. Daging, susu, telur, beras, kentang, gula, kedelai, jagung, kacang tanah, bawang, buah-buahan, ikan, bahkan garam kita impor.
      
Data menunjukkan, sekarang ini 65 persen kebutuhan pangan kita praktis dipenuhi produk impor. Karena itu, berbagai produk pangan eks impor begitu gampang bisa ditemukan di dalam negeri -- mulai di pasar modern, pasar tradisional, hingga di kios-kios pinggir jalan.
      
Kenyataan itu sungguh ironis, karena negeri kita termasuk subur. Lahan untuk kegiatan produksi pangan kita juga terhampar luas. Dengan itu, seharusnya kita mampu memenuhi kebutuhan pangan kita. Atau paling tidak, kita tidak perlu mengimpor banyak komoditas yang bisa dihasilkan sektor pertanian kita.
      
Tetapi karena impor diperlakukan sebagai lahan bisnis, maka kegiatan produksi pertanian di dalam negeri tidak dianggap penting. Pertanian dijadikan sekadar untuk memberi wadah kegiatan usaha bagi warga kita yang menjadi petani. Namun itu pun tidak dengan sikap sungguh-sungguh. Petani tidak diperlakukan sebagai kelompok yang perlu ketat diproteksi dan diberi banyak insentif agar mampu berproduksi secara optimal.
      
Berbeda dengan di negara lain, termasuk di negara maju sekelas AS ataupun Jepang, petani kita lebih banyak harus berjuang sendirian. Mereka miskin bantuan pemerintah. Petani kita seolah diharamkan menikmati banyak subsidi. Bahkan tenaga penyuluh pun sudah sejak lama tak lagi disediakan buat mendampingi mereka. Lalu lahan-lahan pertanian juga terus dikonversi untuk kepentingan nonpertanian.
      
Di sisi lain, pemerintah sendiri bukan tidak punya program untuk menggenjot produksi pertanian kita. Bahkan untuk sejumlah kasus, program-program pemerintah terkesan begitu heroik -- karena seolah ingin menafikan impor. Sebut saja program swasembada beras, swasembada gula, swasembada daging, swasembada susu, dan banyak lagi.
      
Tetapi program-program itu terkesan lebih banyak sekadar lips service. Sekadar untuk memberi kesan bahwa pemerintah punya kemauan memajukan sektor pertanian. Sebab, nyatanya, program-program swasembada itu tak kunjung menjadi kenyataan. Kalaupun tercapai, seperti program swasembada beras, tak pernah bisa permanen atau minimal berjangka relatif lama. Swasembada beras pernah beberapa kali dicapai hanya dalam hitungan satu-dua tahun. Selebihnya, produksi beras di dalam negeri kembali tak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi alias tekor.
      
Patut diakui, kita tidak pernah serius dan malas menggenjot produksi pangan dalam negeri hingga mampu memenuhi kebutuhan konsumsi. Kekurangan produksi pangan di dalam negeri tidak pernah dijadikan cambuk untuk membalikkan keadaan. Kita lebih senang memilih jalan pintas: membuka kran impor lebar-lebar.
      
Dalam konteks itu, produksi pangan kita seperti sengaja dipelihara tetap tak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi. Sebab, dengan demikian, langkah impor beroleh pembenaran.
      
Kegiatan produksi pangan kita memang tersandera oleh kepentingan banyak pihak untuk melanggengkan impor. Karena itu, kegiatan impor diperlakukan bukan sebagai solusi sementara untuk menambal kekurangan produksi pangan di dalam negeri. Kegiatan impor telanjur menjadi lahan bisnis, sehingga banyak pihak berupaya mati-matian untuk melanggengkannya.***

Jakarta, 13 September 2011