Ada yang salah
dalam kebijakan pangan kita selama ini. Atau barangkali kita memang termasuk
bangsa yang tidak becus dalam mengurus masalah pangan ini. Betapa tidak, karena
pemenuhan kebutuhan pangan kita makin bergantung kepada impor. Daging, susu,
telur, beras, kentang, gula, kedelai, jagung, kacang tanah, bawang,
buah-buahan, ikan, bahkan garam kita impor.
Data menunjukkan, sekarang ini 65 persen
kebutuhan pangan kita praktis dipenuhi produk impor. Karena itu, berbagai
produk pangan eks impor begitu gampang bisa ditemukan di dalam negeri -- mulai
di pasar modern, pasar tradisional, hingga di kios-kios pinggir jalan.
Kenyataan itu sungguh ironis, karena
negeri kita termasuk subur. Lahan untuk kegiatan produksi pangan kita juga
terhampar luas. Dengan itu, seharusnya kita mampu memenuhi kebutuhan pangan
kita. Atau paling tidak, kita tidak perlu mengimpor banyak komoditas yang bisa
dihasilkan sektor pertanian kita.
Tetapi karena impor diperlakukan sebagai
lahan bisnis, maka kegiatan produksi pertanian di dalam negeri tidak dianggap
penting. Pertanian dijadikan sekadar untuk memberi wadah kegiatan usaha bagi
warga kita yang menjadi petani. Namun itu pun tidak dengan sikap
sungguh-sungguh. Petani tidak diperlakukan sebagai kelompok yang perlu ketat
diproteksi dan diberi banyak insentif agar mampu berproduksi secara optimal.
Berbeda dengan di negara lain, termasuk di
negara maju sekelas AS ataupun Jepang, petani kita lebih banyak harus berjuang
sendirian. Mereka miskin bantuan pemerintah. Petani kita seolah diharamkan
menikmati banyak subsidi. Bahkan tenaga penyuluh pun sudah sejak lama tak lagi
disediakan buat mendampingi mereka. Lalu lahan-lahan pertanian juga terus
dikonversi untuk kepentingan nonpertanian.
Di sisi lain, pemerintah sendiri bukan
tidak punya program untuk menggenjot produksi pertanian kita. Bahkan untuk
sejumlah kasus, program-program pemerintah terkesan begitu heroik -- karena
seolah ingin menafikan impor. Sebut saja program swasembada beras, swasembada
gula, swasembada daging, swasembada susu, dan banyak lagi.
Tetapi program-program itu terkesan lebih
banyak sekadar lips service. Sekadar untuk memberi kesan bahwa pemerintah punya
kemauan memajukan sektor pertanian. Sebab, nyatanya, program-program swasembada
itu tak kunjung menjadi kenyataan. Kalaupun tercapai, seperti program
swasembada beras, tak pernah bisa permanen atau minimal berjangka relatif lama.
Swasembada beras pernah beberapa kali dicapai hanya dalam hitungan satu-dua
tahun. Selebihnya, produksi beras di dalam negeri kembali tak mampu memenuhi
kebutuhan konsumsi alias tekor.
Patut diakui, kita tidak pernah serius dan
malas menggenjot produksi pangan dalam negeri hingga mampu memenuhi kebutuhan
konsumsi. Kekurangan produksi pangan di dalam negeri tidak pernah dijadikan
cambuk untuk membalikkan keadaan. Kita lebih senang memilih jalan pintas:
membuka kran impor lebar-lebar.
Dalam konteks itu, produksi pangan kita
seperti sengaja dipelihara tetap tak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi. Sebab,
dengan demikian, langkah impor beroleh pembenaran.
Kegiatan produksi pangan kita memang
tersandera oleh kepentingan banyak pihak untuk melanggengkan impor. Karena itu,
kegiatan impor diperlakukan bukan sebagai solusi sementara untuk menambal
kekurangan produksi pangan di dalam negeri. Kegiatan impor telanjur menjadi
lahan bisnis, sehingga banyak pihak berupaya mati-matian untuk
melanggengkannya.***
Jakarta, 13
September 2011