18 September 2011

"Jebakan Lem"


Ibarat terjebak kubangan lem. Barangkali perumpamaan itu paling pas untuk menggambarkan kinerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II sekarang ini. Kinerja kabinet nyaris tak banyak beranjak. Cuma bergerak di situ-situ saja -- terjebak dalam kerutinan yang tidak produktif, sementara program-program pembangunan boleh dikata terbengkalai.
      
Tak kurang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sendiri yang terang-terangan kecewa terhadap kinerja ini seperti terungkap dalam sidang kabinet, pekan lalu. Presiden kecewa karena secara keseluruhan tingkat penyerapan belanja modal pemerintah pada tahun anggaran 2011, hingga awal semester kedua sekarang ini, masih rendah. Hanya sekitar 26 persen. 
      
Artinya, kegiatan pembangunan tidak bergulir. Program-program pembangunan lebih banyak tersimpan di laci birokrasi. Padahal, ironinya, berbagai pembangunan dikemas dalam semangat menggebu. Semangat yang menyiratkan terobosan. Sebut saja program percepatan pembangunan infrastruktur jalan dan pelabuhan, program revitalisasi perkebunan, program revitalisasi infrastruktur pertanian pangan, program percepatan daerah tertinggal, program percepatan pembangunan BUMN, dan lain-lain.
      
Dalam tahap pelaksanaan, program itu sama sekali tak bermakna. Program-program itu hanya elok di atas kertas. Jangankan menunjukkan percepatan, bahkan sekadar berjalan normal saja tidak. Tingkat penyerapan anggaran yang masih rendah merupakan bukti tak terbantahkan tentang itu.
      
Jadi, itu tadi, kinerja KIB II sejauh ini bak orang berjalan di atas lem. Sementara waktu terus berjalan, masing-masing kementerian tak banyak beringsut dalam pencapaian program kerja menggulirkan pembangunan.
      
Karena itu pula, alih-alih menjadi perangkat yang melicinkan jalan pemerintah mencapai target-target pembangunan secara nyata, kabinet malah menjadi faktor yang membebani secara politik. Hasil survei terbaru Lingkaran Survei Indonesia (SLI) yang kemarin dipublikasikan gamblang memberi gambaran tentang itu: tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden SBY terus melorot.
      
Pada masa dua tahun pemerintahan SBY-Boediono ini, tingkat kepercayaan publik tinggal bersisa 37,7 persen. Angka itu melorot tajam dibanding survei terdahulu LSI saat pemerintahan SBY-Boediono memasuki masa seratus hari pertama. Saat itu, tingkat kepercayaan publik mencapai 52,3 persen.
      
Tapi sejak awal, kinerja KIB II di mata publik memang sudah cenderung tidak mengesankan. Gambaran tentang itu tecermin dalam hasil survei LSI dalam rangka setahun pemerintahan SBY-Boediono. Ketika itu tingkat kepercayaan publik mencapai 46,5 persen atau turun signifikan dibanding posisi seratus hari pertama pemerintahan SBY-Boediono sebesar 52,3 persen.
      
Melihat kecenderungan yang terjadi, publik tampaknya sudah tak berharap banyak terhadap kinerja KIB II ini. Bagi publik, kinerja KIB II ke depan hanya akan begitu-begitu saja seperti selama ini -- ibarat terjebak kubangan lem -- karena aneka masalah telanjur menggelayuti. Masalah-masalah itu, antara lain, dugaan keterlibatan menteri atau lingkar terdekat menteri dalam kasus korupsi, terbaring sakit, dilanda kisruh rumah tangga, dan terutama kurang perform sebagaimana hasil evaluasi Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
      
Karena itu, perombakan kabinet menjadi keharusan. Mestinya SBY memandang langkah ini strategis: bukan saja untuk menyelamatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah agar tidak lebih terbenam lebih dalam lagi, melainkan terutama agar kabinet terbebas dari "jebakan lem".***

 Jakarta, 18 September 2011