Ibarat terjebak
kubangan lem. Barangkali perumpamaan itu paling pas untuk menggambarkan kinerja
Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II sekarang ini. Kinerja kabinet nyaris tak
banyak beranjak. Cuma bergerak di situ-situ saja -- terjebak dalam kerutinan
yang tidak produktif, sementara program-program pembangunan boleh dikata
terbengkalai.
Tak kurang Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) sendiri yang terang-terangan kecewa terhadap kinerja ini
seperti terungkap dalam sidang kabinet, pekan lalu. Presiden kecewa karena
secara keseluruhan tingkat penyerapan belanja modal pemerintah pada tahun
anggaran 2011, hingga awal semester kedua sekarang ini, masih rendah. Hanya
sekitar 26 persen.
Artinya, kegiatan pembangunan tidak
bergulir. Program-program pembangunan lebih banyak tersimpan di laci birokrasi.
Padahal, ironinya, berbagai pembangunan dikemas dalam semangat menggebu.
Semangat yang menyiratkan terobosan. Sebut saja program percepatan pembangunan
infrastruktur jalan dan pelabuhan, program revitalisasi perkebunan, program
revitalisasi infrastruktur pertanian pangan, program percepatan daerah
tertinggal, program percepatan pembangunan BUMN, dan lain-lain.
Dalam tahap pelaksanaan, program itu sama
sekali tak bermakna. Program-program itu hanya elok di atas kertas. Jangankan
menunjukkan percepatan, bahkan sekadar berjalan normal saja tidak. Tingkat
penyerapan anggaran yang masih rendah merupakan bukti tak terbantahkan tentang
itu.
Jadi, itu tadi, kinerja KIB II sejauh ini
bak orang berjalan di atas lem. Sementara waktu terus berjalan, masing-masing
kementerian tak banyak beringsut dalam pencapaian program kerja menggulirkan
pembangunan.
Karena itu pula, alih-alih menjadi
perangkat yang melicinkan jalan pemerintah mencapai target-target pembangunan
secara nyata, kabinet malah menjadi faktor yang membebani secara politik. Hasil
survei terbaru Lingkaran Survei Indonesia (SLI) yang kemarin dipublikasikan
gamblang memberi gambaran tentang itu: tingkat kepuasan publik terhadap kinerja
pemerintahan Presiden SBY terus melorot.
Pada masa dua tahun pemerintahan
SBY-Boediono ini, tingkat kepercayaan publik tinggal bersisa 37,7 persen. Angka
itu melorot tajam dibanding survei terdahulu LSI saat pemerintahan SBY-Boediono
memasuki masa seratus hari pertama. Saat itu, tingkat kepercayaan publik
mencapai 52,3 persen.
Tapi sejak awal, kinerja KIB II di mata
publik memang sudah cenderung tidak mengesankan. Gambaran tentang itu tecermin
dalam hasil survei LSI dalam rangka setahun pemerintahan SBY-Boediono. Ketika
itu tingkat kepercayaan publik mencapai 46,5 persen atau turun signifikan
dibanding posisi seratus hari pertama pemerintahan SBY-Boediono sebesar 52,3
persen.
Melihat kecenderungan yang terjadi, publik
tampaknya sudah tak berharap banyak terhadap kinerja KIB II ini. Bagi publik,
kinerja KIB II ke depan hanya akan begitu-begitu saja seperti selama ini --
ibarat terjebak kubangan lem -- karena aneka masalah telanjur menggelayuti.
Masalah-masalah itu, antara lain, dugaan keterlibatan menteri atau lingkar
terdekat menteri dalam kasus korupsi, terbaring sakit, dilanda kisruh rumah
tangga, dan terutama kurang perform sebagaimana hasil evaluasi Unit Kerja
Presiden untuk Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
Karena itu, perombakan kabinet menjadi
keharusan. Mestinya SBY memandang langkah ini strategis: bukan saja untuk
menyelamatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah agar tidak lebih terbenam
lebih dalam lagi, melainkan terutama agar kabinet terbebas dari "jebakan
lem".***
Jakarta, 18
September 2011