Sikap
berkeberatan sebagian besar fraksi di Komisi III DPR terhadap calon pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan pemerintah sekilas terkesan
mengada-ada. Seolah-olah DPR sengaja membuat proses seleksi itu menjadi ribet
hanya karena soal perbedaan jumlah calon.
Sebagian besar fraksi di Komisi III
berkukuh menghendaki calon yang akan mereka uji berjumlah sepuluh orang untuk
diseleksi menjadi lima nama terpilih. Sementara calon yang diajukan pemerintah
terdiri atas delapan nama untuk dipilih menjadi empat nama sebagai pimpinan
KPK. Keempat nama itu kelak mendampingi Buyro Muqqodas sebagai orang nomor satu
di institusi KPK.
Jadi, hanya karena persoalan selisih dua
angka, maka proses uji kepantasan dan kepatutan (fit and proper test) calon
pimpinan KPK di Komisi III DPR pun tak bisa segera digelar. Boleh jadi, mereka
akan berkukuh meminta pemerintah menambah dua nama lagi sehingga calon pimpinan
KPK ini menjadi sepuluh nama.
Karena itu, sebagian kalangan serta-merta
mencurigai bahwa DPR punya agenda terselubung. Ada yang menduga, DPR sedang
bermanuver untuk menjinakkan calon-calon pimpinan KPK. Dengan itu, manakala
kelak terpilih menjadi pimpinan KPK, mereka bisa dikendalikan. Sepak-terjang
mereka tidak bakal merepotkan elite-elite politik yang terlebit perkara
korupsi, termasuk figur-figur yang kini duduk di DPR.
Kecurigaan seperti itu sah-sah saja. Sebab
dalam dunia politik, mengamankan kepentingan adalah soal biasa. Bahkan, memang,
sejatinya politik adalah seni mengelola kepentingan.
Jadi, kecurigaan sebagian kalangan
terhadap sikap DPR menyangkut jumlah calon yang diajukan pemerintah ini gampang
dipahami. Terlebih lagi, sebagaimana tecermin dari berbagai kasus yang
terungkap, tindak korupsi di negeri kita ini sudah demikian parah. Masuk akal
jika orang pun menaruh syakwasangka bahwa mereka yang kini duduk di DPR sedang
berupaya mengamankan diri mereka sendiri atas kemungkinan berurusan dengan KPK
di kemudian hari.
Meski begitu, melihat nama-nama calon yang
diajukan pemerintah ke DPR, kecurigaan itu terasa berlebihan. Sebab nama-nama
itu selama ini dikenal merupakan figur yang punya reputasi bagus dalam gerakan
antikorupsi. Paling tidak, panitia seleksi sendiri, yang menghasilkan delapan
nama calon, mengurut calon-calon itu dalam peringkat integritas. Jadi, rasanya
sungguh musykil mereka bisa dijinakkan DPR -- kecuali mereka memang rela hati
membuang reputasi mereka sendiri ke keranjang sampah.
Di sisi lain, sikap DPR sendiri menolak
calon yang hanya terdiri atas delapan nama bukan tanpa alasan -- dan bisa
diteropong dengan jernih. Dengan berkukuh meminta calon yang diajukan
pemerintah terdiri atas sepuluh nama -- dengan menambahkan dua nama lagi,
termasuk nama Busyro Muqoddas yang kini duduk sebagai orang nomor satu di KPK
-- DPR menghendaki seluruh pimpinan KPK (lima orang) kelak bisa dilantik dan
berhenti secara bersamaan.
Konsekuensinya, masa kepemimpinan Busyro
sebagai Ketua KPK tidak empat tahun sebagaimana keputusan Mahkamah Konstitusi,
melainkan hanya satu tahun. Buysro diperlakukan sekadar meneruskan sisa masa
bakti Antasari Azhar yang terpental dari pucuk pimpinan KPK karena tersangkut
kasus kriminal.
Mungkin opsi DPR itu lebih baik. Bukan
saja relatif lebih efisien -- karena pimpinan KPK bisa dipilih dalam satu
paket, bukan terurai antara satu ketua dan empat wakil ketua --, melainkan juga
lebih strategis bagi gerakan pemberantasan korupsi sendiri. Kenapa? Karena
pimpinan KPK sejak awal bisa diharapkan tampil sebagai sebuah tim yang langsung
solid.
Lebih dari itu, opsi calon sepuluh nama
juga memberi harapan ke arah tampilnya figur ketua KPK yang lebih trengginas
dan lugas. Harapan ini muncul karena kiprah Busyro Muqoddas sendiri selama ini
dalam menakhodai KPK ternyata tak terbilang mengesankan.***