14 September 2011

Calon Pimpinan KPK


Sikap berkeberatan sebagian besar fraksi di Komisi III DPR terhadap calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan pemerintah sekilas terkesan mengada-ada. Seolah-olah DPR sengaja membuat proses seleksi itu menjadi ribet hanya karena soal perbedaan jumlah calon.
      
Sebagian besar fraksi di Komisi III berkukuh menghendaki calon yang akan mereka uji berjumlah sepuluh orang untuk diseleksi menjadi lima nama terpilih. Sementara calon yang diajukan pemerintah terdiri atas delapan nama untuk dipilih menjadi empat nama sebagai pimpinan KPK. Keempat nama itu kelak mendampingi Buyro Muqqodas sebagai orang nomor satu di institusi KPK.
      
Jadi, hanya karena persoalan selisih dua angka, maka proses uji kepantasan dan kepatutan (fit and proper test) calon pimpinan KPK di Komisi III DPR pun tak bisa segera digelar. Boleh jadi, mereka akan berkukuh meminta pemerintah menambah dua nama lagi sehingga calon pimpinan KPK ini menjadi sepuluh nama.
      
Karena itu, sebagian kalangan serta-merta mencurigai bahwa DPR punya agenda terselubung. Ada yang menduga, DPR sedang bermanuver untuk menjinakkan calon-calon pimpinan KPK. Dengan itu, manakala kelak terpilih menjadi pimpinan KPK, mereka bisa dikendalikan. Sepak-terjang mereka tidak bakal merepotkan elite-elite politik yang terlebit perkara korupsi, termasuk figur-figur yang kini duduk di DPR.
      
Kecurigaan seperti itu sah-sah saja. Sebab dalam dunia politik, mengamankan kepentingan adalah soal biasa. Bahkan, memang, sejatinya politik adalah seni mengelola kepentingan.
     
 Jadi, kecurigaan sebagian kalangan terhadap sikap DPR menyangkut jumlah calon yang diajukan pemerintah ini gampang dipahami. Terlebih lagi, sebagaimana tecermin dari berbagai kasus yang terungkap, tindak korupsi di negeri kita ini sudah demikian parah. Masuk akal jika orang pun menaruh syakwasangka bahwa mereka yang kini duduk di DPR sedang berupaya mengamankan diri mereka sendiri atas kemungkinan berurusan dengan KPK di kemudian hari.
      
Meski begitu, melihat nama-nama calon yang diajukan pemerintah ke DPR, kecurigaan itu terasa berlebihan. Sebab nama-nama itu selama ini dikenal merupakan figur yang punya reputasi bagus dalam gerakan antikorupsi. Paling tidak, panitia seleksi sendiri, yang menghasilkan delapan nama calon, mengurut calon-calon itu dalam peringkat integritas. Jadi, rasanya sungguh musykil mereka bisa dijinakkan DPR -- kecuali mereka memang rela hati membuang reputasi mereka sendiri ke keranjang sampah.
      
Di sisi lain, sikap DPR sendiri menolak calon yang hanya terdiri atas delapan nama bukan tanpa alasan -- dan bisa diteropong dengan jernih. Dengan berkukuh meminta calon yang diajukan pemerintah terdiri atas sepuluh nama -- dengan menambahkan dua nama lagi, termasuk nama Busyro Muqoddas yang kini duduk sebagai orang nomor satu di KPK -- DPR menghendaki seluruh pimpinan KPK (lima orang) kelak bisa dilantik dan berhenti secara bersamaan.
     Konsekuensinya, masa kepemimpinan Busyro sebagai Ketua KPK tidak empat tahun sebagaimana keputusan Mahkamah Konstitusi, melainkan hanya satu tahun. Buysro diperlakukan sekadar meneruskan sisa masa bakti Antasari Azhar yang terpental dari pucuk pimpinan KPK karena tersangkut kasus kriminal.
      
Mungkin opsi DPR itu lebih baik. Bukan saja relatif lebih efisien -- karena pimpinan KPK bisa dipilih dalam satu paket, bukan terurai antara satu ketua dan empat wakil ketua --, melainkan juga lebih strategis bagi gerakan pemberantasan korupsi sendiri. Kenapa? Karena pimpinan KPK sejak awal bisa diharapkan tampil sebagai sebuah tim yang langsung solid.
      
Lebih dari itu, opsi calon sepuluh nama juga memberi harapan ke arah tampilnya figur ketua KPK yang lebih trengginas dan lugas. Harapan ini muncul karena kiprah Busyro Muqoddas sendiri selama ini dalam menakhodai KPK ternyata tak terbilang mengesankan.***

Jakarta, September 2011