15 September 2011

KPU Adil dan Jujur?


Jelas sudah: lembaga penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu),  bebas dari unsur parpol. Pemerintah dan DPR kemarin menyepakati soal itu dalam rangka pembahasan RUU Perubahan UU No 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.
      
Kesepakatan itu tertoreh dalam forum rapat kerja Komisi II DPR dan Mendagri Gamawan Fauzi. Pengesahan tentang RUU Perubahan UU Penyelenggara Pemilu ini tinggal menunggu ketok palu dalam forum rapat paripurna DPR yang dijadwalkan digelar Selasa pekan depan (20/9).
      
Kesepakatan itu melegakan. Paling tidak, karena perdebatan alot dan berkepanjangan menyangkut soal unsur parpol dalam lembaga penyelenggara pemilu berakhir sudah. Dengan demikian, energi di pihak DPR bisa dicurahkan kepada proses legislasi yang lain. Terlebih setumpuk RUU diharapkan tuntas dibahas dan disahkan menjadi produk undang-undang dalam waktu dekat ini.
      
Kesepakatan itu juga melegakan karena perdebatan alot dalam pembahasan RUU Perubahan UU Penyelenggara Pemilu boleh dibilang mubazir. Perdebatan itu hanya menghabiskan banyak anergi secara tidak perlu. Jadi kesepakatan yang tertoreh langsung bermakna menghentikan kemubaziran sebuah perdebatan.
     Apalagi kesepakatan yang tertoreh juga begitu kental sekadar merupakan kompromi untuk menyelamatkan muka masing-masing pihak agar tak terkesan mengalah atau dikalahkan. Kesepakatan itu tak sepenuhnya menempatkan lembaga penyelenggara pemilu benar-benar bebas unsur parpol. Toh orang parpol tetap dimungkinkan duduk di lembaga itu asalkan dia melepaskan baju parpol. Tapi itu berarti pula parpol tidak memiliki wakil di lembaga penyelenggara pemilu.
      
Sebanarnya, apa yang menjadi fokus tarik-menarik kepentingan dalam pembahasan RUU Perubahan UU Penyelenggara Pemilu ini -- yakni ihwal unsur parpol dalam lembaga penyelenggara pemilu -- sejak awal tak terlampau relevan untuk diperdebatkan. Toh substansi masalah yang melekat pada lembaga penyelenggara pemilu bukan soal lembaga tersebut harus bebas unsur parpol atau tidak, melainkan mereka harus bisa melaksanakan pemilu secara adil dan jujur.
      
Becermin pada pengalaman, sama sekali bukan jaminan bahwa lembaga penyelenggara pemilu yang bebas unsur parpol mampu berperan objektif sehingga pemilu terlaksana tanpa kecurangan. Dalam Pemilu 2009, misalnya, sejumlah praktik kecurangan yang terbilang masif dan sistematis terendus. KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu diasumsikan bebas unsur parpol pun belakangan terungkap ternyata "disusupi" agen parpol tertentu.
     Sebaliknya, pengalaman juga mencatat bahwa lembaga penyelenggara pemilu yang digerakkan unsur-unsur parpol justru sukses menggelar perhelatan akbar demokrasi secara relatif bersih dari kecurangan. Tengok saja Pemilu 1999: pihak KPU diakui berbagai pihak mampu menegakkan prinsip keadilan dan kejujuran, meskipun mereka yang duduk di lembaga tersebut tegas-tegas berbaju parpol.
     Jadi, faktor penentu keberhasilan lembaga penyelenggara pemilu mengemban tugas mereka tidak ditentukan oleh apakah lembaga tersebut bebas unsur parpol atau tidak. Keberhasilan itu lebih ditentukan oleh faktor integritas dan niat baik (political will) mereka yang duduk di dalamnya.
      
Tanpa integritas dan niat baik manusia-manusia di dalamnya, lembaga penyelenggara pemilu niscaya tak bisa diharapkan melaksanakan tugas secara adil dan jujur. Pemilu yang mereka gelar niscaya sarat diwarnai berbagai bentuk kecurangan. Sengketa hasil pemilu, karena itu, niscaya pula bermunculan.
     
Nah, setelah pemerintah dan DPR mencapai kesepakatan soal RUU Perubahan UU Penyelenggara Pemilu ini, pertanyaan yang segera muncul: akankah KPU dan Bawaslu mampu bertindak adil dan jujur?***

Jakarta, 15 September 2011