Jelas sudah:
lembaga penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu), bebas dari
unsur parpol. Pemerintah dan DPR kemarin menyepakati soal itu dalam rangka
pembahasan RUU Perubahan UU No 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.
Kesepakatan itu tertoreh dalam forum rapat
kerja Komisi II DPR dan Mendagri Gamawan Fauzi. Pengesahan tentang RUU
Perubahan UU Penyelenggara Pemilu ini tinggal menunggu ketok palu dalam forum
rapat paripurna DPR yang dijadwalkan digelar Selasa pekan depan (20/9).
Kesepakatan itu melegakan. Paling tidak,
karena perdebatan alot dan berkepanjangan menyangkut soal unsur parpol dalam
lembaga penyelenggara pemilu berakhir sudah. Dengan demikian, energi di pihak
DPR bisa dicurahkan kepada proses legislasi yang lain. Terlebih setumpuk RUU
diharapkan tuntas dibahas dan disahkan menjadi produk undang-undang dalam waktu
dekat ini.
Kesepakatan itu juga melegakan karena
perdebatan alot dalam pembahasan RUU Perubahan UU Penyelenggara Pemilu boleh
dibilang mubazir. Perdebatan itu hanya menghabiskan banyak anergi secara tidak
perlu. Jadi kesepakatan yang tertoreh langsung bermakna menghentikan
kemubaziran sebuah perdebatan.
Apalagi kesepakatan yang tertoreh juga
begitu kental sekadar merupakan kompromi untuk menyelamatkan muka masing-masing
pihak agar tak terkesan mengalah atau dikalahkan. Kesepakatan itu tak
sepenuhnya menempatkan lembaga penyelenggara pemilu benar-benar bebas unsur
parpol. Toh orang parpol tetap dimungkinkan duduk di lembaga itu asalkan dia
melepaskan baju parpol. Tapi itu berarti pula parpol tidak memiliki wakil di
lembaga penyelenggara pemilu.
Sebanarnya, apa yang menjadi fokus
tarik-menarik kepentingan dalam pembahasan RUU Perubahan UU Penyelenggara
Pemilu ini -- yakni ihwal unsur parpol dalam lembaga penyelenggara pemilu --
sejak awal tak terlampau relevan untuk diperdebatkan. Toh substansi masalah
yang melekat pada lembaga penyelenggara pemilu bukan soal lembaga tersebut harus
bebas unsur parpol atau tidak, melainkan mereka harus bisa melaksanakan pemilu
secara adil dan jujur.
Becermin pada pengalaman, sama sekali
bukan jaminan bahwa lembaga penyelenggara pemilu yang bebas unsur parpol mampu
berperan objektif sehingga pemilu terlaksana tanpa kecurangan. Dalam Pemilu
2009, misalnya, sejumlah praktik kecurangan yang terbilang masif dan sistematis
terendus. KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu diasumsikan bebas unsur
parpol pun belakangan terungkap ternyata "disusupi" agen parpol
tertentu.
Sebaliknya, pengalaman juga mencatat bahwa
lembaga penyelenggara pemilu yang digerakkan unsur-unsur parpol justru sukses
menggelar perhelatan akbar demokrasi secara relatif bersih dari kecurangan.
Tengok saja Pemilu 1999: pihak KPU diakui berbagai pihak mampu menegakkan
prinsip keadilan dan kejujuran, meskipun mereka yang duduk di lembaga tersebut
tegas-tegas berbaju parpol.
Jadi, faktor penentu keberhasilan lembaga
penyelenggara pemilu mengemban tugas mereka tidak ditentukan oleh apakah
lembaga tersebut bebas unsur parpol atau tidak. Keberhasilan itu lebih
ditentukan oleh faktor integritas dan niat baik (political will) mereka yang
duduk di dalamnya.
Tanpa integritas dan niat baik
manusia-manusia di dalamnya, lembaga penyelenggara pemilu niscaya tak bisa
diharapkan melaksanakan tugas secara adil dan jujur. Pemilu yang mereka gelar
niscaya sarat diwarnai berbagai bentuk kecurangan. Sengketa hasil pemilu,
karena itu, niscaya pula bermunculan.
Nah, setelah pemerintah dan DPR mencapai
kesepakatan soal RUU Perubahan UU Penyelenggara Pemilu ini, pertanyaan yang
segera muncul: akankah KPU dan Bawaslu mampu bertindak adil dan jujur?***
Jakarta, 15
September 2011