Angkutan umum
jalan raya kita makin kelihatan tidak aman. Dalam sepekan terakhir saja,
serangkaian kecelakaan maut di jalan raya tegas-tegas memberi kesan itu. Di
Mojokerto, Jatim, misalnya, Senin lalu tabrakan minubus dan bus merenggut nyawa
hingga 20 orang. Beberapa hari sebelumnya, di jalan tol Cipularang, Jabar,
sebuah minibus menabrak pantat truk: enam nyawa melayang sia-sia.
Kalaupun tidak menelan korban jiwa, setiap
peristiwa kecelakaan yang melibatkan angkutan umum ini hampir selalu diwarnai
korban yang menderita luka-luka serius ataupun sekadar luka ringan. Tapi
jangankan luka serius, bahkan sekadar luka baret ringan pun tetap saja
menggumpalkan kesan betapa jasa angkutan umum kita tidak aman. Angkutan umum
jalan raya kini seolah menjadi mesin pembunuh yang bisa melumat siapa saja:
penumpang, pengguna lain jalan raya, atau bahkan awaknya sendiri.
Angkutan umum jalan raya juga punya wajah
lain yang tak kurang membuat miris hati siapa pun: sejak lama disusupi pencopet,
penodong, penggarong bermodus bius, pemeras berkedok pangamen, bahkan juga
pemerkosa. Semua kengerian itu terus bergulir bak seri sinetron yang tiap hari
tersaji di depan mata.
Maka memang sulit sekali untuk tidak
mengatakan jasa angkutan umum kita tidak aman. Selain keselamatan jiwa sebagai
risiko kecelakaan di jalan raya, angkutan umum juga bisa membawa petaka lain
menyangkut keamanan harta benda dan kehormatan orang.
Seharusnya gambaran buram angkutan umum
jalan raya ini membuat pihak-pihak yang memiliki otoritas tergerak melakukan
pembenahan mendasar. Menganggap atau memperlakukan deretan kasus peristiwa
tragis berkaitan dengan angkutan umum jalan raya ini sebagai masalah biasa
adalah konyol. Konyol, karena sikap itu berarti menganggap remeh jiwa orang.
Juga konyol, karena angkutan umum jalan raya niscaya kian menjadi mesin
pembunuh.
Pembenahan mendasar dalam manajemen
penyelenggaraan jasa angkutan umum jalan raya memang sudah terasa mendesak.
Langkah tersebut jelas menuntut komitmen dan kekompakan antarpihak terkait,
termasuk pengusaha atau pemilik jasa angkutan umum.
Dalam konteks itu, praktik-praktik tidak
sehat harus bisa dihilangkan. Uji kelaikan jalan kendaraan, misalnya, harus
benar-benar objektif dan penuh tanggung jawab. Uji kelaikan jalan kendaraan
jangan seperti sekadar formalitas. Bagaimanapun kelaikan jalan kendaraan adalah
salah satu faktor penting yang menentukan keselamatan jasa angkutan umum di
jalan raya. Sedikit saja aspek kelaikan jalan kendaraan ini diabaikan, berarti
risiko maut sudah dibiarkan menempel pada kendaraan itu.
Begitu juga pengawasan operasional
angkutan umum di lapangan jangan lagi diwarnai tindakan penuh kompromi. Petugas
harus benar-benar tegas menindak angkutan umum yang menyalahi ketentuan,
semisal mengangkut penumpang melebihi kapasitas, sopir menjalankan kendaraan
secara ugal-ugalan, kendaraan dijalankan "sopir tembak", dan
lain-lain. Intinya, petugas di lapangan harus benar-benar menegakkan aturan
main penyelanggaraan jasa angkutan umum sehingga masalah keselamatan relatif
terjamin.
Untuk itu pula, penerbitan surat izin
mengemudi (SIM) jangan lagi seperti diobral. Artinya, ujian tertib berlalu
lintas dan praktik mengemudi harus dibuat lebih ketat. SIM tak boleh lagi diperlakukan
sekadar sebagai sertifikat terampil mengemudi, melainkan juga harus sekaligus
menjadi jaminan tentang adab mengemudi yang mengindahkan ketertiban berlalu
lintas di jalan raya.
Tanpa langkah-langkah mendasar seperti
itu, angkutan umum niscaya kian menjadi mesin pembunuh. Naudzubillah!***
Jakarta, 14
September 2011