14 September 2011

Mesin Pembunuh di Jalan


Angkutan umum jalan raya kita makin kelihatan tidak aman. Dalam sepekan terakhir saja, serangkaian kecelakaan maut di jalan raya tegas-tegas memberi kesan itu. Di Mojokerto, Jatim, misalnya, Senin lalu tabrakan minubus dan bus merenggut nyawa hingga 20 orang. Beberapa hari sebelumnya, di jalan tol Cipularang, Jabar, sebuah minibus menabrak pantat truk: enam nyawa melayang sia-sia.
      
Kalaupun tidak menelan korban jiwa, setiap peristiwa kecelakaan yang melibatkan angkutan umum ini hampir selalu diwarnai korban yang menderita luka-luka serius ataupun sekadar luka ringan. Tapi jangankan luka serius, bahkan sekadar luka baret ringan pun tetap saja menggumpalkan kesan betapa jasa angkutan umum kita tidak aman. Angkutan umum jalan raya kini seolah menjadi mesin pembunuh yang bisa melumat siapa saja: penumpang, pengguna lain jalan raya, atau bahkan awaknya sendiri.
      
Angkutan umum jalan raya juga punya wajah lain yang tak kurang membuat miris hati siapa pun: sejak lama disusupi pencopet, penodong, penggarong bermodus bius, pemeras berkedok pangamen, bahkan juga pemerkosa. Semua kengerian itu terus bergulir bak seri sinetron yang tiap hari tersaji di depan mata.
      
Maka memang sulit sekali untuk tidak mengatakan jasa angkutan umum kita tidak aman. Selain keselamatan jiwa sebagai risiko kecelakaan di jalan raya, angkutan umum juga bisa membawa petaka lain menyangkut keamanan harta benda dan kehormatan orang.
      
Seharusnya gambaran buram angkutan umum jalan raya ini membuat pihak-pihak yang memiliki otoritas tergerak melakukan pembenahan mendasar. Menganggap atau memperlakukan deretan kasus peristiwa tragis berkaitan dengan angkutan umum jalan raya ini sebagai masalah biasa adalah konyol. Konyol, karena sikap itu berarti menganggap remeh jiwa orang. Juga konyol, karena angkutan umum jalan raya niscaya kian menjadi mesin pembunuh.
      
Pembenahan mendasar dalam manajemen penyelenggaraan jasa angkutan umum jalan raya memang sudah terasa mendesak. Langkah tersebut jelas menuntut komitmen dan kekompakan antarpihak terkait, termasuk pengusaha atau pemilik jasa angkutan umum.
      
Dalam konteks itu, praktik-praktik tidak sehat harus bisa dihilangkan. Uji kelaikan jalan kendaraan, misalnya, harus benar-benar objektif dan penuh tanggung jawab. Uji kelaikan jalan kendaraan jangan seperti sekadar formalitas. Bagaimanapun kelaikan jalan kendaraan adalah salah satu faktor penting yang menentukan keselamatan jasa angkutan umum di jalan raya. Sedikit saja aspek kelaikan jalan kendaraan ini diabaikan, berarti risiko maut sudah dibiarkan menempel pada kendaraan itu.
      
Begitu juga pengawasan operasional angkutan umum di lapangan jangan lagi diwarnai tindakan penuh kompromi. Petugas harus benar-benar tegas menindak angkutan umum yang menyalahi ketentuan, semisal mengangkut penumpang melebihi kapasitas, sopir menjalankan kendaraan secara ugal-ugalan, kendaraan dijalankan "sopir tembak", dan lain-lain. Intinya, petugas di lapangan harus benar-benar menegakkan aturan main penyelanggaraan jasa angkutan umum sehingga masalah keselamatan relatif terjamin.
      
Untuk itu pula, penerbitan surat izin mengemudi (SIM) jangan lagi seperti diobral. Artinya, ujian tertib berlalu lintas dan praktik mengemudi harus dibuat lebih ketat. SIM tak boleh lagi diperlakukan sekadar sebagai sertifikat terampil mengemudi, melainkan juga harus sekaligus menjadi jaminan tentang adab mengemudi yang mengindahkan ketertiban berlalu lintas di jalan raya.
      
Tanpa langkah-langkah mendasar seperti itu, angkutan umum niscaya kian menjadi mesin pembunuh. Naudzubillah!***


Jakarta, 14 September 2011