22 September 2011

Operasi Yustisi, Efektifkah?


Upaya membendung arus urbanisasi seperti hari-hari ini digelar Pemda DKI Jakarta dan sejumlah pemerintah kota besar lain melalui operasi yustisi kependudukan sebenarnya tindakan sia-sia. Sia-sia, karena upaya tersebut sama sekali tidak efektif.
      
Kenyataan selama ini sudah gamblang memberi gambaran betapa kota-kota besar tetap saja kebanjiran pendatang. DKI Jakarta, misalnya, tiap tahun mencatat pendatang baru rata-rata sebanyak 250 ribu jiwa. Di luar itu, yang tidak tercatat, boleh jadi tak kurang banyak pula.
      
Upaya jajaran pemerintah kota besar membendung arus pendatang memang sah-sah saja, meski itu terasa tak sejalan dengan prinsip bahwa pada dasarnya tiap warna negara berhak hidup di wilayah Indonesia mana pun yang mereka suka. Tetapi memang keinginan membendung arus beralasan, karena arus tersebut punya implikasi serius: penduduk kota besar jadi semakin padat.
      
Terlebih lagi tidak setiap pendatang memiliki cukup sumber daya sebagai bekal untuk bertarung di kota besar. Artinya, arus urbanisasi pun tak lagi sekadar berimplikasi menekan dimensi ruang dan fungsi-fungsi kemasyarakatan. Arus urbanisasi juga bisa melahirkan banyak penyakit sosial yang membuat kehidupan kota tidak nyaman dan tidak aman.
      
Oleh sebab itu, melalui operasi yustisi kependudukan, pendatang baru yang dikategorikan hanya akan menjadi "beban sosial" -- akibat tidak memiliki cukup sumber daya memadai untuk hidup di kota besar -- dikembalikan ke daerah asal masing-masing. Tetapi, itu tadi, tindakan tersebut sia-sia -- karena operasi yustisi kependudukan tidak bersifat permanen. Kegiatan tersebut hanya digelar sekadar sebagai shock therapy setiap habis Lebaran -- karena pada momen itu arus pendatang memang mengalir deras. Di sisi lain, karena sama sekali tak bisa dijamin bahwa mereka yang sudah terjaring operasi yustisi dan dikembalikan ke daerah asal tak lantas balik lagi menjadi pendatang baru.
      
Animo orang menjadi pendatang baru di kota besar memang sangat besar sehingga sulit dibendung -- apalagi sekadar mengandalkan tindakan sesaat seperti operasi yustisi kependudukan. Bagaimanapun, kota-kota besar telanjur menjanjikan impian -- betapa pun absurd-nya impian itu bagi banyak orang. Kota besar telanjur menjadi tumpuan harapan orang untuk mengubah kehidupan menjadi lebih sejahtera.
      
Itu berarti, arus urbanisasi adalah potret kegagalan pembangunan. Berbagai manfaat ekonomi sebagai output pembangunan masih saja hanya terkonsentrasi di kota-kota besar. Sementara daerah-daerah seperti tak kunjung menemukan daya ataupun inovasi untuk menggerakkan pembangunan. Berbagai potensi setempat, yang menjanjikan manfaat ekonomi, tak bisa digali dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
      
Boleh jadi, kualitas sumber daya manusia di daerah-daerah -- termasuk di level pimpinan -- memang memble. Jangankan menciptakan kegiatan yang bisa menggerakkan roda ekonomi setempat, bahkan memanfaatkan sumber daya yang nyata-nyata sudah di tangan pun mereka seperti kehabisan akal. Kucuran dana dari pemerintah pusat, misalnya, malah mereka simpan di bank ketimbang dimanfaatkan sebagai amunisi bagi kegiatan pembangunan sebagaimana peruntukannya.
      
Dalam konteks itu, program pendidikan nasional kita jelas gagal mencetak manusia-manusia kreatif, visioner, dan berdaya juang tinggi. Berbagai lembaga pendidikan lebih banyak melahirkan tenaga baru pencari kerja -- bukan orang-orang penggerak pembangunan. Outpun dunia pendidikan kita lebih banyak berupa pemimpi-pemimpi yang kebingungan untuk menyulap impian menjadi kenyataan dalam sekejap.
      
Arus urbanisasi juga merupakan potret buram program pengendalian pertambahan penduduk. Program keluarga berencana (KB) kini hanya sayup-sayup. Jargon "dua anak saja cukup" sudah tak pernah terdengar lagi. Akibatnya, pertambahan penduduk kita secara nasional kian menanjak tajam.
      
Jadi, untuk membendung arus urbanisasi, operasi yustisi percuma saja.***

Jakarta, 22 September 2011