Penyerapan
anggaran negara masih saja mengecewakan. Seperti tahun-tahun lalu, tingkat
penyerapan anggaran ini terbilang rendah. Hingga 26 Agustus lalu, sebagaimana
diungkapkan pemerintah, realisasi belanja modal berbagai kementerian dan
lembaga negara untuk tahun anggaran berjalan baru mencapai 26,6 persen. Itu
relatif tak jauh berbeda dibanding periode Januari-Agustus tahun lalu sebesar
27 persen.
Kenyataan itu mengecewakan karena
menunjukkan bahwa alokasi belanja negara gagal dimanfaatkan menjadi stimulator
yang turut menggerakkan perekonomian nasional. Penyerapan anggaran sejauh ini
praktis didominasi belanja subsidi dan pegawai, bukan proyek-proyek
pembangunan.
Kalau saja tingkat penyerapan anggaran
benar-benar optimal, tingkat pertumbuhan ekonomi nasional pun mestinya jauh
lebih baik daripada pencapaian sekarang ini, yang diperkirakan sebesar 6,5
persen. Artinya, masyarakat luas seharusnya bisa menikmati banyak manfaat
ekonomi di tengah tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan sekarang ini.
Seperti tahun-tahun lalu, sangat boleh
jadi, berbagai kementerian dan lembaga negara baru akan bertindak habis-habisan
melakukan belanja modal menjelang penghujung tahun anggaran. Ini sungguh sikap
mental tidak terpuji karena menyiratkan tindakan grasa-grusu laiknya sopir
angkot mengejar setoran. Padahal birokrasi jelas bukan Bandung Bondowoso
ataupun Sangkuriang yang mampu menuntaskan proyek impossible hanya dalam tempo
semalam.
Lagi pula, selain menyiratkan tindakan
grasa-grusu mengejar target, memampatkan penyerapan anggaran di penghujung
tahun selalu terbukti tidak pernah optimal. Buktinya, saban tahun selalu
tertoreh sisa lebih anggaran.
Artinya, sekian banyak anggaran yang sudah
dialokasikan tak bisa dimanfaatkan sesuai peruntukan yang notabene dirancang
untuk kemajuan ekonomi. Ini menjadi ironi karena pemerintah dan DPR saban tahun
justru berpayah-payah mendesain APBN sedemikian rupa sehingga selalu tertoreh
defisit. Dalam konteks itu, pemerintah dan DPR jelas didorong obsesi
menggerakkan pembangunan benar-benar optimal hingga melampaui kemampuan
pembiayaan.
Karena itu bisa dipahami jika Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pun sampai mengomel atas kinerja berbagai kementerian
dan lembaga negara dalam menyerap anggaran ini. Sebagai kepala pemerintahan,
Presiden kecewa karena rendahnya penyerapan anggaran jelas menunjukkan bahwa
kinerja pemerintahan dalam menggerakkan roda pembangunan dari tahun ke tahun
tidak menunjukkan perbaikan. Seperti keledai, kinerja berbagai kementerian dan
lembaga negara dalam menyerap anggaran ini terus-terusan terperosok ke lubang
yang sama.
Benarkah rendahnya tingkat penyerapan
anggaran belanja ini karena jajaran birokrasi kelewat berhati-hati dalam
membelanjakan anggaran lantaran takut berisiko terjerat perkara hukum di
belakang hari? Dalam batas-batas tertentu, sikap paranoid birokrasi ini mungkin
benar adanya. Tapi secara keseluruhan, kita menangkap kesan bahwa birokrasi
justru imun atau tak acuh terhadap risiko hukum itu. Buktinya, kasus-kasus
korupsi terus saja bermunculan dengan intensitas dan skala yang kian
memprihatinkan.
Walhasil, rendahnya tingkat penyerapan
anggaran belanja negara ini tampaknya lebih karena jajaran kementerian dan
lembaga pemerintahan tidak bekerja optimal. Mereka cenderung bekerja secara
leha-leha, dan baru tancap gas mjengejar target menjelang akhir tahun anggaran.
Itu menjadi indikasi bahwa reformasi
birokrasi harus dilanjutkan dalam lingkup lebih luas dan lebih mendasar. Tak
bisa tidak!***
Jakarta, 8
September 2011