08 September 2011

Penyerapan Anggaran

Penyerapan anggaran negara masih saja mengecewakan. Seperti tahun-tahun lalu, tingkat penyerapan anggaran ini terbilang rendah. Hingga 26 Agustus lalu, sebagaimana diungkapkan pemerintah, realisasi belanja modal berbagai kementerian dan lembaga negara untuk tahun anggaran berjalan baru mencapai 26,6 persen. Itu relatif tak jauh berbeda dibanding periode Januari-Agustus tahun lalu sebesar 27 persen.
      
Kenyataan itu mengecewakan karena menunjukkan bahwa alokasi belanja negara gagal dimanfaatkan menjadi stimulator yang turut menggerakkan perekonomian nasional. Penyerapan anggaran sejauh ini praktis didominasi belanja subsidi dan pegawai, bukan proyek-proyek pembangunan.
     Kalau saja tingkat penyerapan anggaran benar-benar optimal, tingkat pertumbuhan ekonomi nasional pun mestinya jauh lebih baik daripada pencapaian sekarang ini, yang diperkirakan sebesar 6,5 persen. Artinya, masyarakat luas seharusnya bisa menikmati banyak manfaat ekonomi di tengah tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan sekarang ini.
      
Seperti tahun-tahun lalu, sangat boleh jadi, berbagai kementerian dan lembaga negara baru akan bertindak habis-habisan melakukan belanja modal menjelang penghujung tahun anggaran. Ini sungguh sikap mental tidak terpuji karena menyiratkan tindakan grasa-grusu laiknya sopir angkot mengejar setoran. Padahal birokrasi jelas bukan Bandung Bondowoso ataupun Sangkuriang yang mampu menuntaskan proyek impossible hanya dalam tempo semalam.
      
Lagi pula, selain menyiratkan tindakan grasa-grusu mengejar target, memampatkan penyerapan anggaran di penghujung tahun selalu terbukti tidak pernah optimal. Buktinya, saban tahun selalu tertoreh sisa lebih anggaran.
     Artinya, sekian banyak anggaran yang sudah dialokasikan tak bisa dimanfaatkan sesuai peruntukan yang notabene dirancang untuk kemajuan ekonomi. Ini menjadi ironi karena pemerintah dan DPR saban tahun justru berpayah-payah mendesain APBN sedemikian rupa sehingga selalu tertoreh defisit. Dalam konteks itu, pemerintah dan DPR jelas didorong obsesi menggerakkan pembangunan benar-benar optimal hingga melampaui kemampuan pembiayaan.
     Karena itu bisa dipahami jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun sampai mengomel atas kinerja berbagai kementerian dan lembaga negara dalam menyerap anggaran ini. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden kecewa karena rendahnya penyerapan anggaran jelas menunjukkan bahwa kinerja pemerintahan dalam menggerakkan roda pembangunan dari tahun ke tahun tidak menunjukkan perbaikan. Seperti keledai, kinerja berbagai kementerian dan lembaga negara dalam menyerap anggaran ini terus-terusan terperosok ke lubang yang sama.
      
Benarkah rendahnya tingkat penyerapan anggaran belanja ini karena jajaran birokrasi kelewat berhati-hati dalam membelanjakan anggaran lantaran takut berisiko terjerat perkara hukum di belakang hari? Dalam batas-batas tertentu, sikap paranoid birokrasi ini mungkin benar adanya. Tapi secara keseluruhan, kita menangkap kesan bahwa birokrasi justru imun atau tak acuh terhadap risiko hukum itu. Buktinya, kasus-kasus korupsi terus saja bermunculan dengan intensitas dan skala yang kian memprihatinkan.
      
Walhasil, rendahnya tingkat penyerapan anggaran belanja negara ini tampaknya lebih karena jajaran kementerian dan lembaga pemerintahan tidak bekerja optimal. Mereka cenderung bekerja secara leha-leha, dan baru tancap gas mjengejar target menjelang akhir tahun anggaran.
      
Itu menjadi indikasi bahwa reformasi birokrasi harus dilanjutkan dalam lingkup lebih luas dan lebih mendasar. Tak bisa tidak!***

Jakarta, 8 September 2011