05 November 2007

Renumerasi, Lupakan Saja Dulu!

Pertemuan Menkeu dan tiga menko membahas masalah renumerasi bagi pejabat negara, pekan lalu, seharusnya tandas berkesimpulan bahwa kebijakan tentang itu belum saatnya bisa dilakukan. Tanpa harus alot beradu argumen, pembicaraan dalam pertemuan tersebut mestinya bisa dengan cepat melahirkan kesepakatan bulat. Bahwa pemberian renumerasi bagi pejabat negara untuk saat sekarang tidak urgen dan juga tidak patut.

Tidak patut, karena kondisi kehidupan masyarakat kebanyakan nyata-nyata masih pekat disaput kesulitan ekonomi. Kemiskinan masih kental menyelimuti rakyat dengan kondisi yang cenderung kian parah dan meluas. Gambaran kondisi ke depan ini juga tidak menampakkan gejala membaik.

Karena itu, forum pertemuan setingkat menteri pun mestinya bukan membicarakan masalah renumerasi bagi pejabat negara, melainkan justru membahas langkah-langkah strategis yang bersifat terobosan untuk memperbaiki kondisi kesejahteraan rakyat.

Pembahasan soal renumerasi ini juga tidak urgen dilakukan saat sekarang karena kehidupan pejabat negara sendiri sudah relatif baik dibanding kehidupan rakyat kebanyakan. Gaji yang mereka terima selama ini, jika merujuk pada takaran umum di negeri kita, sudah lebih dari cukup. Ditambah aneka fasilitas yang juga rata-rata di atas lumayan, kesejahteraan pejabat negara kita ini sungguh sulit dikatakan memprihatinkan. Bahkan tak jarang kita melihat kehidupan mereka justru bergelimang kemewahan.

Boleh jadi, memang, kehidupan yang bergelimang kemewahan itu tidak merata dinikmati semua pejabat negara kita. Tetapi juga tetap sulit dibantah bahwa kondisi kehidupan mereka sekarang ini sudah relatif sejahtera. Benar, dibanding di sejumlah negara lain, tingkat kesejahteraan pejabat negara kita ini relatif tertinggal.

Tapi untuk sementara ini, kenyataan tersebut belum terasa menjadi alasan urgen guna memperbaiki renumerasi mereka. Itu tadi, karena kehidupan rakyat kebanyakan masih dililit kemiskinan dengan kondisi yang memprihatinkan.

Artinya, peningkatan renumerasi bagi pejabat negara serta-merta menjadi persoalan etis yang langsung menggugah rasa keadilan. Terlebih lagi, peningkatan renumerasi belum tentu otomatis meningkatkan kinerja mereka. Selama jiwa mereka untuk mengabdi kepada kepentingan publik masih teramat tipis, peningkatan renumerasi boleh jadi sekadar berdampak menambah berat beban pengeluaran negara.

Soal itu terasa mengusik, karena kondisi keuangan negara sendiri sekarang ini tidak cerah. Ke depan ini, defisit anggaran boleh jadi kian membengkak. Kita tahu, harga minyak mentah di pasar dunia belakangan ini bergejolak hingga hampir menembus 100 dolar AS per barel, sementara APBN sendiri mengasumsikan harga minyak di level 60 dolar AS per barel.

Dalam kondisi seperti itu, pemerintah sendiri tampaknya tidak berani menempuh kebijakan tidak populer: menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebagai tindak penyesuaian terhadap perkembangan harga minyak dunia.

Implikasinya, itu tadi, defisit anggaran hampir pasti membengkak. Nah, dalam kondisi demikian, peningkatan renumerasi pejabat negara jelas menjadi amat tidak relevan. Peningkatan renumerasi bisa menjadi tindakan konyol sekaligus menyakitkan.

Kita setuju bahwa birokrasi kita perlu direformasi. Tetapi perbaikan renumerasi pejabat bukan satu-satunya faktor yang bisa diandalkan memperbaiki kinerja birokrasi kita. Bahkan masih banyak alternatif lain yang lebih bisa diandalkan untuk itu. Misalnya konsisten dan konsekuen melakukan penegakan hukum terhadap setiap bentuk dan skala tindakan korupsi di lingkungan birokrasi. Singapura atau Hong Kong bisa menjadi contoh terbaik tentang itu, sehingga birokrasi di kedua negara tersebut kini benar-benar efisien dan efektif berfungsi.

Jadi, untuk sementara, lupakan saja dulu gagasan ataupun keinginan membahas soal renumerasi pejabat ini. Selama kemiskinan masih mendera rakyat kebanyakan, juga keuangan negara tidak memungkinkan, godaan maupun tekanan ke arah itu harus dienyahkan jauh-jauh.***
Jakarta, 5 November 2007