20 November 2007

Stop Ketergantungan!

Ketergantungan kita terhadap pinjaman luar negeri sudah harus diminimalisasi, atau bahkan dihilangkan. Ini bukan hanya karena kita sudah terlalu lama bergantung pada peran pinjaman luar negeri. Sampai-sampai selama ini kita seolah tidak bisa menggerakkan roda ekonomi jika tak memperoleh kucuran pinjaman luar negeri.

Lebih dari itu, karena ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri punya implikasi serius yang tidak sehat, bahkan berbahaya. Ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri membuat ekonomi nasional mustahil bisa mandiri. Mustahil bebas muatan kepentingan pihak asing. Mustahil bisa berurat-berakar pada sumber daya sendiri.

Memang, selama kita masih terus bergantung terhadap pinjaman luar negeri, selama itu pula kalangan kreditor -- terutama melalui peran lembaga keuangan multiletaral seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Dana Moneter Internasional (IMF) -- begitu leluasa mendiktekan kepentingan mereka ke dalam berbagai kebijakan strategis kita di bidang ekonomi.

Dengan kata lain, ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri membuat kedaulatan kita di bidang ekonomi jadi tergadai.

Di sisi lain, keberpihakan ekonomi terhadap kepentingan nasional juga acap harus dikorbankan. Berbagai subsidi, misalnya, terus dipreteli. Padahal subsidi yang nyata-nyata dibutuhkan rakyat untuk sekadar bertahan hidup (survive) atau untuk amunisi pemberdayaan (empowering) sumber daya ekonomi dikikis dan dihapuskan.

Dalam konteks itu, kalangan kreditor tak henti menekan pengambil kebijakan agar menafikan semangat keberpihakan terhadap rakyat. Lewat ideologi pasar bebas, kalangan negara maju terus menjejalkan doktrin bahwa subsidi adalah kanker yang membuat kehidupan ekonomi tidak bisa sehat. Bahwa daftar negatif investasi adalah najis yang membuat asing ogah menanam modal. Bahwa perlindungan bagi pelaku ekonomi lokal adalah laknat yang membuat iklim investasi bak neraka jahanam.

Karena itu, sekali lagi, ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri sudah harus dihilangkan. Atau paling tidak diminimalisasi. Untuk itu, kita harus berani menghentikan pinjaman baru. Di sisi lain, kita juga harus percaya diri untuk meminta pengurangan atau bahkan penghapusan beban utang kepada jajaran kreditor.

Menghentikan pinjaman baru, untuk sekarang ini, rasanya tidak sulit. Toh proporsi kebutuhan akan pinjaman baru sudah tidak signifikan lagi dibanding nilai total APBN. Di awal Orde Baru dulu, proporsi pinjaman baru ini mencapai sekitar 30 persen APBN. Kini angka itu sudah melorot menjadi tinggal sekitar 5 persen.

Jadi, pinjaman baru sesungguhnya bisa kita hindarkan. Terlebih lagi sudah acap terbukti, kemampuan kita menggunakan pinjaman sekarang ini relatif kecil. Karena itu, buat apa mengambil pinjaman baru jika tak bisa optimal dimanfaatkan? Pinjaman baru bukan saja hanya melahirkan beban commitment fee, melainkan terutama secara politis menempatkan kita di mata kreditor menyerupai hamba sahaya.

Di sisi lain, meminta pengurangan atau bahkan penghapusan utang juga beralasan kita lakukan. Pertama, karena proporsi beban utang luar negeri dalam APBN sudah kelewat besar. Separo lebih devisa hasil ekspor kini praktis tersedot untuk mencicil pembayaran utang luar negeri. Jadi, proporsi pembayaran utang luar negeri dalam APBN sudah tidak sehat.

Kedua, sudah menjadi rahasia umum bahwa pinjaman luar negeri banyak dikorupsi oleh oknum pengambil kebijakan dengan restu diam-diam pihak kreditor. Justru itu, secara etis maupun moral, sudah sepatutnya kalangan kreditor pun turut menanggung risiko dengan memberikan keringanan kepada kita menyangkut beban utang ini.

Tapi soalnya, beranikah kita menempuh itu? Adakah political will ke arah sana? Masihkah kita gentar oleh gertakan Bank Dunia, ADB, IMF, ataupun kalangan kreditor lain yang mengancam memasukkan kita ke kelompok the bad boys?***
Jakarta, 20 November 2007