26 November 2007

Rupiah Kian Bergerak Liar

Sebagai konsekuensi kita menganut rezim devisa mengambang, fluktuasi nilai tukar rupiah sungguh sulit dihindari. Selalu membayang. Seiring hukum permintaan dan penawaran, fenomena fluktuasi kurs setiap saat bisa terjadi. Terlebih ekonomi kita sudah merupakan bagian integral dunia global.

Artinya, gejolak kurs yang terjadi di belahan negara lain, lambat atau cepat pasti mengimbas pula ke dalam negeri. Jadi, fluktuasi kurs adalah fenomena biasa.

Tetapi manakala cenderung tidak normal, fluktuasi kurs segera mengundang waswas. Entah melemah ataupun menguat, gejolak kurs yang relatif tidak normal hampir selalu serta-merta memunculkan kekhawatiran. Jangan-jangan situasi tak terkendali. Jangan-jangan perkembangan tak bakal segera membaik.

Kenyataan seperti itu pula yang kini mulai membayang di tengah masyarakat. Ini sejak kurs rupiah cenderung terus tertekan terhadap dolar AS. Sejak nilai tukar rupiah semakin melemah. Terlebih perkembangan tersebut merupakan anomali. Sebab, memang, kurs berbagai mata uang lain terhadap dolar AS justru menguat. Artinya, arah pergerakan kurs rupiah sekarang ini lain sendiri.

Anomali itu pula yang membuat kekhawatiran di masyarakat jadi kian mengental. Karena tak memperoleh penjelasan gamblang tentang itu, masyarakat semakin waswas. Bahwa arah pergerakan kurs rupiah ke depan ini semakin memburuk. Apalagi kondisi ekternal -- terutama harga minyak mentah di pasar dunia -- potensial kian serius menekan.

Fenomena itu bisa berbahaya. Sikap dan perilaku irasional mulai dominan dalam menyikapi kondisi kurs rupiah. Seolah-olah kondisi objektif ekonomi makro di dalam negeri, yang sesungguhnya tak perlu dikhawatirkan, sama sekali tak bermakna. Seolah-olah fundamental ekonomi nasional yang relatif kokoh hanya bermakna di atas kertas.

Itu berbahaya karena bisa membuat situasi jadi tak terkendali. Ibarat bola salju, kepanikan masyarakat justru bisa membuat kurs rupiah kian terjerembab. Pada gilirannya, seperti pernah kita alami sepuluh tahun lalu, sendi-sendi ekonomi nasional niscaya rontok. Kalau sudah begitu, krisis ekonomi jelas kembali menerpa.

Dalam situasi seperti itu, kita angkat topi terhadap Bank Indonesia (BI). Menghadapi gejolak kurs rupiah sekarang ini, BI tetap mampu bersikap dingin. BI tak terkesan ikut larut dalam kecemasan dan kepanikan yang kini mulai membayangi masyarakat. Sejauh terungkap lewat pernyataan beberapa pejabat BI, kita menangkap kesan bahwa BI masih bisa mengatasi masalah.
Sikap BI itu adalah poin penting. Sebab, manakala BI selaku otoritas moneter ikut-ikutan goyah, apalagi panik, maka perkembangan kurs rupiah niscaya semakin memburuk. Gejolak kurs tak bakal lagi bisa efektif terkontrol.

Namun sikap tenang saja tidak cukup. Yang lebih penting sekarang ini, BI harus melakukan aksi. BI harus berbuat sesuatu yang bisa meredakan kepanikan di masyarakat. BI tak boleh memberi ruang sedikit pun yang bisa membuat kepanikan di masyarakat semakin menggila.

Dengan kata lain, BI harus bisa meyakinkan bahwa segala kecemasan tentang kurs rupiah sama sekali tak beralasan. Pertama, karena fundamental ekonomi nasional justru mengesankan -- dalam arti tidak punya celah yang bisa membuat kurs rupiah tertekan. Kedua, karena gejolak kurs sekarang ini lebih karena faktor eksternal yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan. Untuk itu, BI harus memberi penjelasan meyakinkan mengenai faktor-faktor yang membuat kurs rupiah kini menunjukkan anomali.

Ketiga, ini yang lebih penting, BI tak membiarkan nilai tukar rupiah terus bergulir liar sesuai tekanan pasar. BI sudah saatnya melakukan intervensi. Mungkin tak harus jor-joran. Yang penting, pasar harus diyakinkan bahwa BI tak tinggal diam. Terlebih dengan cadangan devisa yang kini relatif melimpah, BI mestinya tak terlalu sulit menggebrak pasar.***
Jakarta, 26 November 2007