15 November 2007

Rawannya Ketahanan Energi

Lonjakan harga minyak mentah di pasar dunia kian menorehkan kesadaran: betapa rawan ketahanan energi nasional kita sekarang ini. Rawan, karena lonjakan harga minyak di pasar global begitu nyata dan niscaya berdampak negatif terhadap ekonomi nasional kita. Makin mahal harga minyak dunia, makin serius pula problem ekonomi yang harus kita tanggung. Itu sungguh tak terhindarkan karena minyak telanjur berperan vital dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi.

Dulu kenaikan harga minyak dunia adalah rezeki nomplok.
Pertama, karena produksi minyak mentah kita ketika itu relatif melimpah, sehingga kita mampu menjual ke luar negeri (ekspor) dalam volume yang terbilang besar.

Kedua, kala itu tingkat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri relatif rendah. Meski kebutuhan akan BBM ini harus dipenuhi melalui impor, tingkat konsumsi yang rendah ini membuat kita tidak tekor. Hasil penjualan minyak mentah dikurangi nilai impor BBM tetap menyisakan rezeki dalam jumlah banyak.

Kini keadaan sudah berbalik seratus delapan puluh derajat. Kenaikan harga minyak di pasar dunia tidak lagi mendatangkan rezeki nomplok, melainkan justru petaka. Itu karena kita kini sudah menjadi net importer minyak. Tingkat produksi minyak mentah di dalam negeri sekarang ini relatif kecil, sehingga volume dan hasil ekspor pun tak seberapa besar.

Di sisi lain, tingkat konsumsi BBM di dalam negeri sudah demikian tinggi, sehingga kebutuhan impor komoditas tersebut pun tak mampu lagi dicukupi oleh hasil ekspor minyak mentah. Jadi, hasil ekspor minyak dibanding impor BBM telak-telak membuat kita tekor.

Ketahanan energi nasional ini terasa makin mencemaskan karena sejumlah faktor justru tidak kondusif. Tingkat konsumsi BBM, misalnya, terus naik secara pasti. Dalam soal ini, kita sungguh abai dan lalai. Kita nyaris tak pernah peduli oleh laju kenaikan konsumsi BBM.

Kita hampir-hampir tak memiliki kesadaran dan kepedulian untuk menahan laju tersebut. Barangkali kita adalah satu-satunya negara yang tak sedikit pun berupaya serius mengontrol soal itu. Kalaupun terbit kesadaran dan keinginan untuk menekan konsumsi BBM, yang muncul selalu saja program yang berwatak hangat-hangat tahi ayam.

Karena itu pula, dalam konteks penggunaan energi, kita termasuk sangat boros. Kita hampir tak pernah berpikir untuk menggunakan energi secara efisien. Bahkan kebutuhan yang tidak perlu atau sesungguhnya bisa dihindari pun tetap saja kita sandarkan pada BBM. Pembangkit listrik, misalnya, relatif sedikit yang memanfaatkan energi non-BBM. Apa boleh buat, diversifikasi pemanfaatan sumber energi lebih banyak sekadar menjadi wacana.

Yang juga merisaukan, seperti sudah disinggung, produksi minyak kita justru cenderung terus menurun. Ladang-ladang minyak kita kebanyakan telanjur tua-tua, sehingga tidak produktif lagi. Sementara proyek-proyek baru nyaris tak ada akibat iklim investasi yang tidak mengundang gairah investor.

Terkait kenyataan itu, jujur saja kita mempertanyakan kinerja Menteri Purnomo Yusgiantoro. Kita mendapat kesan, Purnomo belum berbuat banyak dan nyata dalam membenahi sektor pertambangan, khususnya dalam mendongkrak produksi minyak kita. Padahal Purnomo sudah menempati pos Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sejak zaman Presiden Abdurrahman Wahid. Artinya, hingga sekarang ini Purnomo telah mendampingi tiga kepala pemerintahan. Karena itu, mestinya grafik produksi minyak kita tidak justru menurun.

Soal ketahanan energi memang bukan melulu tanggung jawab Menteri Energi. Sejatinya, masalah tersebut adalah tanggung jawab kita bersama. Justru itu, mengingat rawannya ketahanan energi kita sekarang ini, semua pihak dituntut merapatkan barisan. Konsolidasi adalah kata kunci. Selebihnya adalah rumusan kebijakan dan program yang meski tajam terarah dan sinambung, serta kerja keras tak kenal lelah.***
Jakarta, 15 Oktober 2007