19 November 2007

Tegakkan Kemandirian Ekonomi!

Kemandirian ekonomi nasional sudah begitu lama tergadai. Bahkan mungkin meski kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, ekonomi kita tidak pernah benar-benar berdaulat. Proklamasi kemerdekaan tidak serta-merta membuat kehidupan ekonomi kita menjadi mandiri, dalam arti kokoh berakar pada kekuatan sendiri. Jika diibaratkan, ekonomi kita adalah tanaman bonsai.

Dalam realitas keseharian di tengah masyarakat, kehidupan ekonomi kita begitu nyata bergantung terhadap kekuatan luar. Di sektor pertanian, misalnya, kita adalah pengimpor besar sejumlah komoditas strategis seperti beras, gandum, bahkan juga gula pasir yang sejatinya dulu di zaman penjajahan Belanda jusru menempatkan kita sebagai produsen nomor wahid di dunia.

Di sektor manufaktur, kita juga tak memiliki kemandirian. Kita amat sangat bergantung pada kekuatan modal dan teknologi asing. Kekayaan sumber daya alam yang kita miliki ternyata tak serta-merta membuat industri manufaktur kita mandiri.
Bahkan dalam sejumlah kasus, ketergantungan itu bukan lagi sekadar menyangkut masalah modal dan teknologi, melainkan juga pasokan bahan baku -- entah bahan baku utama staupun bahan baku penolong. Peran kita sendiri, akhirnya lebih banyak sekadar menjadi penyedia pekerja kasar (blue collar) alias tenaga kuli.

Tak hanya bergantung, kita juga bisa dikatakan sudah kehilangan kendali atas berbagai sendi ekonomi kita. Asing begitu kuat mencengkram. Dalam konteks ini, kita tak berdaya membendung arus masuk kekuatan ekonomi luar. Itulah yang membuat pasar kita banjir dengan aneka produk barang dan jasa impor.

Memang, dalam konteks globalisasi sekarang ini, keterlibatan asing dalam kegiatan ekonomi nasional sungguh mustahil bisa dihindari. Tetapi jika keterlibatan asing ini melahirkan ketergantungan sekaligus membuat kita tak bisa efektif melakukan fungsi kendali, maka kemandirian ekonomi kita hanya di dalam mimpi.

Proses-proses ekonomi jelas tak lagi sepenuhnya berangkat dari kondisi dan potensi lokal. Terlebih jika mekanisme pasar dan liberalisasi menjadi pijakan, maka kegiatan ekonomi kita mustahil bisa optimal mengemban kepentingan nasional. Bahkan atas nama mekanisme pasar, atas nama liberalisasi, kepentingan nasional terpaksa dikorbankan. Artinya, tak bisa lain, ekonomi kita tak berdaulat. Ekonomi kita tergadai.

Dari sisi pengambilan kebijakan, ekonomi kita juga tak bisa dikatakan mandiri. Secara struktural, pemerintah sudah sejak lama amat sulit memformulasikan kebijakan tanpa muatan kepentingan asing, terutama Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai representasi atau kepanjangan tangan negara-negara maju. Itu sungguh tak terhindarkan sebagai konsekuensi kita yang telanjur begitu besar memanfaatkan pinjaman luar negeri.

Di luar itu, kekuatan berbagai korporasi raksasa dunia juga begitu perkasa mendiktekan kepentingan mereka. Kekuatan modal benar-benar mereka manfaatkan sebagai faktor penekan yang membuat kebijakan ekonomi domestik acap tidak lagi menjadi strategi pemberdayaan nasional.

Walhasil, ketidakmandirian ekonomi ini sungguh berbahaya. Bukan saja mendistorsi kedaulatan kita sebagai bangsa merdeka, ketidakmandirian ekonomi juga tidak produktif atau bahkan destruktif. Resep-resep pemulihan ekonomi yang diitroduksikan IMF dan bank Dunia ketika krisis ekonomi dan moneter melanda negeri kita sepuluh tahun lalu, misalnya, bukan saja terbukti tidak mujarab. Bisa dikatakan, resep-resep itu ngawur sehingga justru berdampak memperparah krisis yang terjadi.

Karena itu, saatnya kini kita mengakhiri ketidakmandirian ekonomi kita ini. Memang, langkah ke arah itu pasti tidak mudah -- terutama karena kita telanjur memiliki banyak ketergantungan kepada kekuatan luar. Tetapi dengan tekad politik membaja, kemandirian ekonomi bukan mustahil bisa kita tegakkan tanpa membuat kita terkucil dari percaturan global. Sejumlah negara bisa jadi contoh yang baik tentang itu.***
Jakarta, 19 November