15 November 2007

Kemiskinan Kian Mencemaskan

Kemiskinan di negeri kita sudah termasuk tahap memprihatinkan sekaligus mengerikan. Meprihatinkan, karena masalah kemiskinan tak kunjung tertangani secara meyakinkan. Berbagai upaya ke arah itu terkesan sedikit sekali membawa hasil positif. Jumlah penduduk miskin bukannya berkurang, melainkan justru kian menjulang.

Dua tahun lalu, Bank Dunia menyebutkan bahwa mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan (berpendapatan 2 dolar AS per hari), mencapai 49,5 persen dari total penduduk Indonesia. Berarti, hampir separo penduduk kita berkubang dalam kemiskinan!

Sangat boleh jadi, sekarang ini angka penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan ini sudah lebih besar lagi. Betapa tidak, karena sejumlah faktor mengondisikan kecenderungan ke arah itu. Sebut saja kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2005 yang sampai dua kali, serta notabene dengan besaran kenaikan yang sangat signifikan. Kenaikan harga BBM pada tahun 2005 menjadi faktor yang serta-merta menurunkan derajat kesejahteraan masyarakat.

Dalam konteks itu, mereka yang semula sudah relatif sejahtera pun terseret turun kembali ke bawah garis kemiskinan. Di sisi lain, kehidupan ekonomi nasional selama dua tahun terakhir juga tak banyak membantu menolong keadaan. Kelesuan di sektor riil berkepanjangan, sehingga masyarakat kesulitan memperoleh topangan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan.

Walhasil, jelas, jumlah warga miskin pun semakin bertambah. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri, saat memberikan sambutan pada puncak peringatan Hari Kesehatan Nasional 2007, kemarin, mengakui, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih tinggi.

Tingkat kemiskinan yang tinggi, terlebih dengan perkembangan yang cenderung memburuk, adalah kenyataan mengerikan. Betapa tidak, karena kemiskinan berkorelasi positif dengan tindak kejahatan. Makin tinggi angka kemiskinan, makin tinggi pula berbagai tindak kejahatan.

Lebih mengerikan lagi, karena tindak kejahatan justru semakin berkembang. Bukan hanya secara teknis kian canggih, melainkan terutama karena tindak kejahatan kian tak bernurani. Tindak kejahatan semakin menafikan aspek kemanusiaan: sadistis -- bahkan untuk masalah yang sangat sepele sekalipun.

Karena itu, masalah kemiskinan ini sungguh berbahaya. Jika tetap tak kunjung tertangani secara mendasar dan signifikan, kemiskinan bisa menjadi faktor yang menghancurkan keberadaan kita sebagai sebuah bangsa. Kita bisa kehilangan kebanggaan dan harga diri di tengah percaturan global. Kita juga bisa benar-benar kehilangan daya saing kolektif sebagai bangsa -- dan karena itu kita berisiko dimangsa dan diperhamba bangsa lain. Tanda dan gejala ke arah itu bahkan sudah mulai terlihat dan terasa.

Menilik seriusnya masalah kemiskinan di negeri kita sekarang ini, cara-cara biasa tampaknya tak memadai lagi. Terlebih cara-cara biasa itu acap terbukti tak efektif karena sama sekali tidak menyentuh akar masalah. Pemberian bantuan langsung berupa uang tunai, misalnya, malah melahirkan moral hazard di tengah masyarakat maupun aparat pelaksana program di lapangan.

Pemberian subsidi terhadap aneka komoditas maupun jasa juga lebih banyak menguras anggaran negara. Karena banyak diwarnai bias sasaran, pemberian subsidi nyaris tak berdampak memperbaiki kondisi kehidupan kaum miskin.

Terus-terang, kita cemas bahwa masalah kemiskinan di negeri kita ini justru semakin serius. Ini terutama karena kalangan elite kita miskin empati, miskin terobosan, juga miskin tindakan. Bagi kalangan elite, kemiskinan cenderung diperlakukan sebagai komoditas dan proyek. Karena itu, masalah kemiskinan bahkan mereka perlukan untuk kepentingan kosmetik.***
Jakarta, 15 November 2007