20 Oktober 2007

Angkutan Umum Massal

Angkutan umum massal di negeri kita sudah lama cenderung dipandang sebelah mata. Di sisi regulator, sedikit sekali kebijakan yang mengondisikan angkutan umum massal ini bisa berkembang dan menjadi pilihan utama masyarakat. Paling tidak, karena selama ini regulator tidak menunjukkan komitmen dan dukungan besar terhadap penyediaan infrastruktur.

Di sisi operator atau penyelenggara jasa, angkutan umum massal juga tidak menjadi pilihan strategis. Aspek pengelolaan yang mereka lakukan sungguh minimalis. Tak heran, angkutan umum massal seperti kereta api komuter di Jabotabek secara umum nyaris tidak memberikan kenyamanan bagi pengguna jasa. Penumpang cenderung diperlakukan sekadar sebagai bilangan. Karena itu, bak ikan sarden, gerbong kereta api selalu sarat dijejali penumpang. Belum lagi aspek keamanan juga acap terbukti tak terjamin.

Itu pula yang membuat angkutam umum massal di negeri kita secara keseluruhan terkesan tidak berkelas. Kumuh, pengap, jorok, juga amburadul. Angkutan umum massal seolah hanya diperuntukkan bagi kaum marginal.

Memang, belakangan mulai muncul kesadaran di pihak operator untuk menghadirkan layanan angkutan umum massal -- khususnya kereta api komuter -- yang memenuhi syarat kepatutan dan kenyamanan. Tidak kumuh ataupun pengap, melainkan bersih, harum, dan juga tertib. Dengan itu, pihak operator mencoba merengkuh kelompok sosial menengah. Kesan bahwa kereta api komuter melulu pilihan kaum marginal coba dihapuskan.

Namun keinginan baik ke arah sana tergerogoti oleh sikap dan perilaku korup oknum petugas di lapangan. Sembunyi-sembungi ataupun terbuka, mereka menyelundupkan penumpang yang menyetor bayaran ilegal di bawah tarif resmi.

Akibatnya, aspek kenyamanan angkutan umum massal alternatif pun pelan-pelan menguap. Ditambah kegiatan pemeliharaan yang masih saja minimalis, angkutan umum massal itu pun perlahan memudar sebagai alternatif bagi masyarakat kelas menengah.

Karena itu, tak terlalu salah juga kecenderungan masyarakat memengah atas memilih menggunakan kendaraan pribadi. Terlebih, memang, transportasi umum biasa juga gagal menjadi substitusi angkutan umum massal. Selain soal ongkos jatuhnya relatif lebih mahal, layanan angkutan umum biasa juga tidak lebih baik alias amburadul. Bahkan, karena kondisi lalu-lintas jalan raya telanjur padat dan banyak dihadang kemacetan, mobilitas angkutan umum biasa ini juga payah.

Tapi soalnya, kecenderungan untuk memanfaatkan kendaraan pribadi ini sampai kapan bisa diakomodasi? Dari segi ruang, sekarang ini saja kemacetan lalu-lintas sudah parah.
Tanpa solusi strategis, kemacetan lalu-lintas jalan raya ini jelas niscaya semakin menjadi-jadi.

Dalam konteks konsumsi bahan bakar minyak (BBM), kecenderungan itu juga tidak sehat. Tingkat konsumsi BBM menjadi tinggi dan terkondisi boros karena kebutuhan terus meningkat.

Walhasil, secara nasional, layanan angkutan umum massal yang tidak berkembang ini sungguh tidak produktif atau bahkan merugikan -- karena mobilitas sosial-ekonomi makin hari makin tidak lancar, dan di sisi lain harga BBM juga semakin mahal.

Karena itu, pernyataan Wapres Jusuf Kalla sungguh patut kita dukung: bahwa angkutan umum massal harus didorong berkembang. Sekarang ini, angkutan umum massal sudah harus menjadi alternatif utama sarana pendukung mobilitas sosial ekonomi masyarakat.

Tapi mewujudkan soal itu pasti tidak mudah. Keinginan ke arah itu menuntut political will dan komitmen serius pemerintah, di samping dukungan konkret berbagai pihak terkait.

Jelas, kita berharap soal itu tidak lagi lebih banyak tersangkut di awang-awang seperti selama ini. Artinya, keinginan menjadikan angkutan umum massal sebagai pendukung utama mobilitas sosial ekonomi masyarakat ini jangan lagi akhirnya menguap begitu saja manakala gejolak harga BBM mereda.***
Jakarta, 20 Oktober 2007