11 Oktober 2007

Free Trade Zone Babinkar

Sebagai tujuan investasi, pamor Indonesia sudah cukup lama cenderung terus menurun. Selama sekitar sewindu terakhir, kalangan investor tidak lagi menjadikan negeri kita sebagai pilihan utama penanaman modal. Ibarat pasangan kencan, mereka sudah berpaling ke lain hati. Bagi mereka, Indonesia tidak "seksi" lagi.

Itu bukan saja menyangkut investasi baru. Bahkan tak sedikit investasi yang sudah lama berkibar di negeri kita ini tak betah terus bertahan. Dalam konteks itu, relokasi industri ke negeri lain menjadi fenomena.

Maka, ibarat pepatah, kita ini sudah jatuh masih tertimpa tangga pula. Di satu sisi kita kesulitan menggaet investasi baru. Tapi di sisi lain, kita juga terus kehilangan proyek-proyek investasi lama seiring fenomena relokasi industri ke negeri lain.

Jelas, itu sangat memprihatinkan sekaligus merisaukan. Merisaukan karena kegiatan investasi kuat bertali-temali dengan masalah ketenagakerjaan. Makin banyak proyek investasi, berarti makin banyak pula lapangan kerja tercipta. Sebaliknya, makin seret dan surut kegiatan investasi, maka makin sempit pula lapangan kerja yang tersedia.

Dalam konteks itu, pengangguran menjadi masalah krusial. Krusial karena di tengah kondisi lapangan kerja yang cenderung menyusut, angkatan kerja baru terus bertambah. Padahal tanpa angkatan kerja baru pun pengangguran di negeri kita sudah seabrek-abrek.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, kemarin DPR menyetujui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang kawasan ekonomi khusus berupa zona perdagangan bebas alias free trade zone (FTZ) Batam, Bintan, dan Karimun (Babinkar) menjadi undang-undang.

Keputusan itu sungguh punya makna strategis. Kita bisa berharap keputusan DPR ini mampu membangkitkan kembali kegiatan investasi di negeri kita, khususnya di Batam, Bintan, dan Karimun. Dalam lingkup luas dan jangka menengah, keputusan itu juga bukan tidak mungkin menjadi pemicu dan pemacu kebangkitan ekonomi nasional.

Memang, proses pembahasan perppu menjadi undang-undang itu terbilang kilat. Mulai dibahas 14 September lalu, Selasa kemarin sudah gol disetujui. Walhasil proses pembahasan sampai tuntas tak sampai memakan waktu sebulan. Mudah-mudahan ini bukan pertanda sikap grasa-grusu yang bisa berimplikasi merugikan: konsep UU FTZ Babinkar ini tidak matang dan menyimpan bom waktu.

Sebaliknya, kita percaya bahwa proses pembahasan yang terbilang kilat itu menunjukkan kesadaran tinggi DPR akan kondisi dunia investasi kita yang boleh dikatakan sudah genting dan menuntut terobosan strategis.

Kini, setelah resmi disetujui DPR, bola FTZ Babinkar berada di pihak pemerintah. Secara teknis, pemerintah perlu segera membuat kelengkapan kelembagaan berupa dewan kawasan dan badan pelaksana. Tentu kita berharap agar figur-figur yang kelak dipilih menduduki posisi di kedua lembaga itu benar-benar profesional.

Artinya, mereka memiliki wawasan luas dan menguasai teknis manajerial tentang peran dan fungsi kawasan perdagangan bebas. Dengan demikian, UU FTZ Babinkar benar-benar bermanfaat bagi kepentingan nasional.

Terkait itu pula, kita ingin sedikit mengingatkan bahwa konsepsi kawasan ekonomi khusus berupa FTZ jangan menjadikan Batam, Bintan, dan Karimun sekadar sebagai kantong (enclave) kegiatan investasi marjinal: melulu bersifat padat karya dan berteknologi rendah.

Sebaliknya, kawasan ekonomi khusus di ketiga pulau itu harus menjadi wahana kegiatan ekonomi yang memiliki makna istimewa. Investasi yang masuk harus benar-benar berkualitas dan bercakupan luas: di samping membuka lapangan kerja, juga menjadi daya dorong ekonomi nasional berjaya dalam forum global.

Untuk itu, sebuah grand design perlu dirumuskan secara cermat dan tajam. Jika tidak, UU FTZ Babinkar sulit diharapkan memberi manfaat optimal.***
Jakarta, 11 Oktober 2007