11 Oktober 2007

Ritual Mudik Lebaran

Menghadapi arus mudik Lebaran, semua pihak sungguh dituntut bersikap siaga. Tidak hanya jajaran pemerintahan -- terutama mereka yang bertanggung jawab atas masalah transportasi --, aparat kepolisian, operator angkutan umum, bahkan juga masyarakat pemudik sendiri mesti siaga.

Artinya, masing-masing harus siap sedia menjaga berbagai kemungkinan buruk berkaitan dengan kegiatan mudik ini. Intinya, kemungkinan-kemungkinan buruk dan pahit harus bisa dihindari. Selebihnya, kegiatan mudik harus bisa terselenggara secara tertib, aman, dan nyaman.

Tanpa kesiagaan, kegiatan mudik bisa menjadi petaka. Kegiatan mudik bisa kacau-balau, penuh keluh-kesah, sarat sumpah-serapah, atau bahkan kental dengan duka nestapa. Betapa tidak, karena mudik Lebaran menyangkut pergerakan manusia dalam skala masif pada rentang waktu yang relatif pendek.
Menurut perkiraan, mudik Lebaran kali ini melibatkan sekitar 32 juta orang. Itu adalah angka yang luar biasa besar. Jelas, berbagai kemungkinan buruk pun bisa mudah terjadi. Terlebih lagi kalau sikap abai dan lalai tak dianggap sebagai berisiko fatal.

Tak bisa tidak, karena itu, perhitungan atau perkiraan mengenai berbagai aspek terkait arus mudik ini pun mesti cermat. Tak boleh mengawang-awang. Perencanaan juga tak bisa dilakukan asal jadi. Sementara koordinasi dan kerja sama antarpihak jangan dianggap sekadar ajang main-main. Koordinasi dan kerja sama sungguh mutlak harus dilakukan.

Dengan demikian, kesiagaan bisa terbangun. Kesiagaan tidak menjadi sekadar proforma. Kesiagaan bukan cuma basa-basi sekadar untuk memenuhi kesantunan sosial ataupun tebar pesona.

Karena itu pula, kita amat menghargai upaya pemerintah -- khususnya Departemen Perhubungan -- menggerakkan kesiagaan berbagai pihak yang bersinggungan dengan masalah transportasi umum dalam menghadapi arus mudik Lebaran kali ini.

Dengan itu, pemudik boleh memiliki keyakinan bahwa pilihan-pilihan moda transportasi yang tersedia aman digunakan -- syukur-syukur juga nyaman. Artinya, risiko kecelakaan transportasi relatif kecil. Dengan itu, perjalanan mudik tak lantas dihantui rasa waswas dan cemas.

Selama ini, waswas dan cemas senantiasa membayangi publik pengguna jasa transportasi umum di negeri kita. Apa mau dikata, memang, karena kecelakaan transportasi umum terlampau kerap terjadi. Sekian banyak korban sudah jatuh dengan sia-sia dan konyol. Dikatakan konyol, karena kecelakaan transportasi umum tak seharusnya terjadi kalau saja semua pihak taat berpijak pada ketentuan.

Tapi ketentuan apa pun di negeri kita cenderung dianggap sebagai prasasti. Ketentuan ataupun aturan seolah boleh dikompromikan, diabaikan, atau bahkan sengaja dilanggar. Ketentuan tentang kelaikan operasi alat transportasi, misalnya, bisa ditawar-tawar. Tak heran alat transportasi yang nyata-nyata bobrok pun bisa leluasa melaju mengangkut penumpang.

Sudah sering terungkap, jumlah penumpang angkutan kapal, misalnya, jauh melampaui angka dalam daftar manifes. Begitu juga penumpang kereta api (kelas ekonomi): bukan saja berdesakan bak ikan sarden, melainkan juga meluber hingga ke atap gerbong.

Kenyataan itu tak harus terjadi kalau saja semua pihak tidak abai dan lalai. Aparat pelaksana regulasi, terutama, mestinya bersikap tegas dan lugas terhadap berbagai penyimpangan. Fakta objektif tentang itu tak boleh malah dijadikan pijakan untuk kompromi atau transaksi damai. Pemeriksaan dan pengawasan atas kondisi alat transportasi di lapangan juga jangan diperlakukan sebagai dasar untuk mencari-cari kesalahan.

Walhasil, kita berharap kesiagaan segenap pihak terkait penyelenggaraan jasa transportasi ini tak hanya berlaku sesaat. Cuma dalam rangka menghadapi arus mudik Lebaran. Kesiagaan itu mestinya menjadi kultur yang tak pernah luntur.***
Jakarta, 7 Oktober 2007