20 September 2007

Hari Besar dan Angkutan Umum

Penyelenggaraan jasa angkutan umum -- entah moda transportasi darat, laut, ataupun udara -- mestinya mengacu kepada kepentingan konsumen. Dalam konteks ini, keterjangkauan tarif, kenyamanan pelayanan, juga keamanan/keselamatan selama dalam perjalanan dituntut menjadi pijakan.

Tetapi pengalaman selama ini gamblang menunjukkan bahwa kepentingan konsumen cenderung diabaikan. Terutama menjelang dan selama hari-hari besar seperti Lebaran, Natal, atau Tahun baru: penyelengraraan jasa angkutan umum di negeri kita adalah sebuah drama yang sarat diwarnai kerakusan, keangkuhan, dan ketakpedulian yang membuat konsumen semata-mata sebagai objek.

Soal tarif, misalnya. Bagi konsumen, tarif angkutan umum pada suasana hari besar sama sekali tidak terjamin bisa terjangkau. Konsumen hampir selalu mendapati kenyataan bahwa tarif melonjak. Tarif naik sebagai respons penyesuaian terhadap hukum pasar ketika permintaan meningkat. Tapi kenaikan tarif hampir selalu menjadi sangat tidak wajar karena perilaku culas ikut bermain memanfaatkan suasana.

Pemerintah sendiri, dalam menghadapi hari-hari besar memang selalu berupaya mengatur tarif angkutan umum agar tetap terjangkau masyarakat kebanyakan. Namun di lapangan, pengaturan itu tak jarang mengalami distorsi -- dan karena itu tarif yang terjangkau cuma ada di atas kertas.

Contoh nyata menjelang Lebaran sekarang ini: tarif angkutan kereta api melonjak gila-gilaan. Akibat telanjur banyak dikuasai calo, sekarang ini tiket tak lagi bisa diperoleh di loket -- bahkan untuk pemberangkatan jauh di belakang hari, saat-saat menjelang hari H Lebaran.

Juga untuk tujuan balik, loket sudah tak menjual lagi tiket. Sebagian habis dibeli calon penumpang. Sebagian (besar) lagi telanjur dikuasai calo. Konsumen pun, karena itu, harus membayar tiket kereta api ini dua atau tiga kali lipat harga resmi di loket.

Tapi anehnya, pihak operator terkesan tidak tahu-menahu ihwal permainan calo tiket ini. Padahal kiprah percaloan tiket nyata-nyata berlangsung di depan hidung mereka. Jadi, sungguh menggelikan jika pihak operator kereta api sampai tidak tahu. Yang mungkin terjadi, mereka tidak berdaya. Atau oknum petugas mereka bekerja sama dengan calo. Atau mungkin juga oknum petugas merangkap menjadi calo!

Kondisi hampir serupa juga bisa ditemukan dalam penyelenggaraan jasa angkutan darat, laut, ataupun udara. Sama saja: menjelang hari-hari besar, konsumen praktis dibuat susah. Tiket sulit diperoleh. Harga tiket juga melambung. Terlebih bila calo ikut bermain.

Itu, sekali lagi, karena penyelenggara jasa angkutan umum tidak menempatkan kepentingan konsumen sebagai rujukan. Orientasi mereka adalah meraup keuntungan sebesar-besarnya. Karena itu, setiap peluang ke arah sana -- sekecil apa pun -- benar-benar mereka manfaatkan. Hukum permintaan dan penawaran pun lantas menjadi pembenaran.

Dengan semangat itu pula, kenyamanan pengguna jasa menjadi urusan ke sekian. Di tengah suasana menjelang hari besar, kenyamanan konsumen boleh dikatakan tak masuk hitungan. Nyaris tidak menjadi kepedulian penyelenggara jasa angkutan umum. Lihat saja angkutan kereta api atau bus antarkota: jumlah penumpang (kelas ekonomi) dipaksakan jauh melampaui kapasitas.

Sudah begitu, kelengkapan armada juga sungguh tak terpelihara. Fasilitas pendingin udara (AC), misalnya, acap hanya mengeluarkan angin sepoi-sepoi. Juga fasilitas kamar kecil yang selalu dalam kondisi mempertontonkan kebobrokan dan kejorokan demikian sempurna.

Soal keamanan/keselamatan konsumen selama dalam perjalanan? Itu juga tak kurang memprihatinkan. Sejumlah kasus sudah terang-benderang menunjukkan bahwa berbagai moda angkutan umum di negeri kita sedikit sekali menjamin aspek keamanan/keselamatan pengguna jasa.

Karena itu, semestinya suasana menjelang Lebaran sekarang ini dijadikan momentum untuk membenahi penyelenggaraan jasa angkutan umum kita secara komprehensif, mendasar, dan serius. Pemerintah, dalam kaitan ini, sungguh diharapkan berperan di garda depan.***
Jakarta, 20 September 2007