17 September 2007

Bom Waktu di Industri Pembiayaan

Industri usaha pembiayaan (multifinance) di dalam negeri makin serius digayuti persoalan pelik sekaligus klasik. Persoalan itu adalah kredit bermasalah. Ini gamblang tercermin pada kinerja perusahaan-perusahaan pembiayaan. Laba mereka cenderung turun signifikan. Tahun lalu saja, menurut Laporan Perekonomian Indonesia 2006 yang disusun Bank Indonesia, penurunan laba perusahaan-perusahaan pembiayaan ini rata-rata mencapai 24 persen.

Tahun ini, sangat boleh jadi, penurunan laba perusahaan-perusahaan pembiayaan di dalam negeri ini lebih besar lagi. Betapa tidak, karena kondisi yang mereka hadapi cenderung semakin memburuk. Daya beli masyarakat, terutama, kian melorot.

Lalu, bunga pinjaman -- meski sejak awal tahun ini sudah turun -- juga tetap masih relatif tinggi. Tak heran, karena itu, tingkat pertumbuhan industri pembiayaan ini menurun drastis. Data sementara di Bank Indonesia menunjukkan, volume pembiayaan industri tersebut hingga September ini turun 4,3 persen dibanding tahun lalu.

Mengkhawatirkan. Risiko kredit bermasalah kian pekat membayangi industri pembiayaan nasional. Risiko tersebut sungguh tidak bisa dipandang enteng. Melihat dampaknya terhadap penurunan perolehan laba, risiko kredit bermasalah yang menggelayuti industri pembiayaan ini mungkin sudah masuk stadium serius.

Karena serius, masalah tersebut jelas menuntut perhatian dan tindak penanganan segera. Jika tidak, bukan tidak mungkin risiko kredit bermasalah benar-benar merontokkan industri pembiayaan di dalam negeri secara keseluruhan.

Bahkan boleh jadi masalah tersebut menjadi bom waktu yang melahirkan risiko sistemik terhadap industri keuangan nasional. Industri perbankan, misalnya, bisa ikut-ikutan limbung. Maklum karena perbankan adalah sumber utama pendanaan industri pembiayaan di dalam negeri. Jadi, manakala industri pembiayaan limbung atau bahkan rontok, perbankan juga sulit tidak ikut-ikutan goyah.

Seriusnya kredit bermasalah yang menggelayuti industri pembiayaan ini jelas memprihatinkan. Betapa tidak, karena mestinya masalah tersebut bisa dikelola sedemikian rupa sehingga tidak menjadi "panyakit kanker".

Dalam konteks itu, boleh-boleh saja penurunan daya beli masyarakat ditunjuk sebagai biang masalah. Terlebih, memang, penurunan daya beli masyarakat demikian nyata dan signifikan. Siapa pun bisa merasakan, kehidupan ekonomi nasional semakin tidak bersahabat.

Harga aneka barang dan jasa terus merangkak naik. Bagi masyarakat kebanyakan, itu adalah faktor yang begitu niscaya menggerogoti kemampuan ekonomi mereka. Itu pula yang membuat banyak debitor perusahaan pembiayaan kesulitan atau bahkan tak mampu lagi membayar cicilan.

Dalam perspektif bisnis, faktor itu memang risiko.
Tetapi manakala faktor itu demikian telak mengganggu kinerja usaha atau bahkan mengancam kelangsungan entitas bisnis, jelas itu bukan lagi sekadar risiko bisnis. Pasti ada faktor lain yang tidak beres.

Nah, dalam konteks industri pembiayaan nasional sekarang ini, faktor lain itu adalah ketidakhati-hatian. Sulit diingkari, dalam beberapa tahun terakhir industri pembiayaan di dalam negeri terjebak pada iklim persaingan yang tidak sehat. Terutama di sektor otomotif, khususnya sepeda motor, masing-masing perusahaan begitu jor-joran menggaet nasabah.
Persyaratan pembiayaan bukan saja dipermudah, tetapi bahkan
seperti menafikan prinsip kehati-hatian. Penilaian atau survei kelayakan calon debitor, misalnya, cenderung diperlakukan sekadar sebagai proforma.

Adalah mengherankan bahwa kecenderungan yang tidak sehat itu seolah bukan anomali yang serta-merta mengundang kepedulian pihak berwenang untuk bertindak. Institusi yang menjadi otoritas sektor pembiayaan terkesan tutup mata. Bahkan sekarang ini pun, ketika kredit bermasalah di industri pembiayaan sudah menjadi bom waktu, mereka masih tenang-tenang saja.***
Jakarta, 17 September 2007