12 September 2007

Siapkan Contingency Plan

Perkembangan harga minyak di pasar internasional semakin mencemaskan. Tanpa bisa ditahan, harga minyak ini terus merangkak naik. Posisi terakhir, harga minyak di pasar global sudah menyentuh 78 dolar AS per barel. Boleh jadi, level psikologis 80 dolar AS per barel pun tak lama lagi tertembus.

Itu sangat mungkin terjadi karena permintaan tetap tinggi. Sejumlah faktor memang mengondisikan kecenderungan itu. Sebut saja, misalnya, pertumbuhan beberapa raksasa ekonomi seperti China dan India yang begitu tinggi. Roda perekonomian negara-negara tersebut membuat konsumsi minyak mereka terus-menerus naik.

Di sisi lain, cadangan minyak di kalangan negara maju juga kini disebut-sebut mulai menipis. Padahal, seiring musim dingin yang tak lama lagi menjelang, konsumsi minyak mereka juga segera berlipat.

Memang, di tengah kondisi seperti itu, Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) kini mulai menimbang langkah ke arah peningkatan produksi. Tapi, seperti biasa, soal itu kemungkinan tidak bisa mudah diputuskan. Perbedaan kepentingan antaranggota OPEC sendiri membuat langkah mengintervensi perkembangan pasar bukan perkara gampang untuk dirumuskan. Bahkan kalaupun sudah menjadi kesekapatan bersama, langkah OPEC mengintervensi pasar dengan menambah pasokan ini acap terbukti tidak solid. Ujung-ujungnya, harga minyak tetap tak terbendung naik terus.

Karena itu, sekali lagi, perkembangan harga minyak dunia sekarang ini sungguh mencemaskan. Tak sulit dibayangkan jika perkembangan lebih jauh menyeret harga minyak ke level 80 dolar AS atau bahkan lebih. Yang sudah pasti saja: kehidupan ekonomi global menjadi buram. Bukan tidak mungkin, jika harga minyak sampai melambung jauh di atas 80 dolar AS per barel, ekonomi dunia tergelincir ke dalam krisis.

Bagi kehidupan ekonomi nasional sendiri, perkembangan harga minyak global ini sudah terasa membuat miris. Bahkan dengan harga minyak dunia yang sudah menyentuh 78 dolar AS per barel sekarang ini saja, ekonomi nasional harus menanggung implikasi sangat serius. Subsidi bahan bakar minyak (BBM), misalnya, jelas jadi membengkak.

Dalam APBNP 2007, harga BBM ini diasumsikan rata-rata 62 dolar AS per barel. Nah, dengan realitas bahwa harga minyak dunia sekarang mencapai 78 dolar AS, berarti asumsi itu sudah jauh meleset. Selisihnya sudah mencapai 16 dolar AS. Padahal untuk setiap kenaikan 1 dolar AS saja, subsidi BBM membengkak sekitar Rp 600 miliar.

Di sisi lain, kondisi harga minyak dunia yang sudah menyentuh 78 dolar AS ini menjadi ancaman serius bagi kelangsungan industri nasional. Ancaman tersebut demikian nyata karena BBM untuk industri tak lagi memperoleh kucuran subsidi.

Persoalan menjadi kian merisaukan, karena nilai tukar rupiah belakangan ini justru cenderung tertekan. Dengan kisaran terakhir di rentang Rp 9.300-Rp 9.400 per dolar AS, posisi kurs rupiah ini membuat implikasi harga minyak dunia semakin berlipat. Dunia usaha nasional, terutama industri yang banyak menggunakan bahan baku impor, sungguh berisiko terpuruk.

Menimbang gambaran seperti itu, langkah-langkah antisipatif sungguh mutlak perlu. Bahkan tidak berlebihan jika pemerintah perlu segera menyiapkan rencana taktis penyelamatan (contingency plan). Pepatah "sedia payung sebelum hujan" jelas amat relevan di tengah perkembangan harga minyak dunia dan kurs rupiah yang mencemaskan sekarang ini.

Dalam konteks itu, sikap abai atau memandang remeh persoalan bukan saja tidak bijak, melainkan juga konyol -- karena berakibat persoalan berkembang jadi tak karu-karuan.
Percaya diri memang perlu. Tapi kita jangan lantas menjadi over confident.
Jakarta, 12 September 2007