02 Juli 2004

Revitalisasi Kehutanan

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) pimpinan Adiwarsito Adinegoro kemarin menggelar hajatan lumayan penting. Hajatan berupa simposium sehari itu bertajuk "Mewujudkan Kembali Kebangkutan Sektor Kehutanan dalam Pembangunan Nasional Ke Depan". Sejumlah tokoh yang selama ini dikenal memahami betul seluk-beluk dunia kehutanan nasional -- antara lain beberapa mantan Menteri Kehutanan dan pengusaha -- tampil jadi pembicara.

Hajatan itu kita nilai lumayan penting karena, paling tidak, menunjukkan kesadaran dan keinginan besar kalangan pengusaha yang berhimpun di APHI pimpinan Adiwarsita untuk merevitalisasi sektor kehutanan. Dalam perspektif lain, hajatan itu juga tampaknya merupakan akumulasi keprihatinan mereka atas kondisi hutan dan kehutanan kita yang telanjur terpuruk.

Di masa lalu, memang, sektor kehutanan demikian gilang-gemilang. Dalam periode cukup panjang, sektor kehutanan bahkan tampil menjadi sektor kedua terbesar dalam menyumbang perolehan devisa. Dengan rata-rata nilai ekspor sekitar 7 miliar dolar per tahun, hingga 1997 silam, posisi sektor kehutanan dalam menyumbang perolehan devisa ini berada di urutan kedua terbesar setelah tekstil dan produk tekstil (TPT).

Kini, sektor kehutanan adalah potret kusam-buram. Sektor kehutanan bukan lagi primadona penyumbang devisa. Sektor kehutanan kini sekadar cerita tentang ketidakberdayaan yang telah melahirkan kebangkrutan sejumlah banyak pabrik pengolahan kayu, tindak pemutusan hubungan kerja, penebangan liar (illegal logging), penyelundupan kayu bulat ilegal ke luar negeri, kerusakan kawasan hutan, dan banyak lagi. Singkat kata, sektor kehutanan kini benar-benar terpuruk -- bahkan berada di titik nadir.

Amat boleh jadi, kesadaran, keinginan besar, ataupun keprihatinan tentang hutan dan kehutanan ini juga menggelayuti pihak-pihak lain yang sama-sama merasa menjadi stake holders kehutanan nasional. Hanya, mungkin karena alasan teknis ataupun politis, hajatan yang digelar APHI Adiwarsita ini tak melibatkan semua stake holders. Bahkan Menteri Kehutanan atau sekadar pejabat eselon I ataupun eselon II, kemarin tak terlihat ambil bagian dalam hajatan itu.

Tetapi, konon, pihak panitia hajatan itu sendiri bukan tidak berupaya melibatkan pihak-pihak lebih luas. Pihak Dephut, misalnya, sebenarnya turut mereka undang untuk berbagi pandangan tentang revitalisasi kehutanan nasional ini. Hanya, entah karena alasan gengsi atau sekadar kebentur alasan teknis waktu, undangan itu tak bersambut.
Justru itu, kita menangkap kesan bahwa pihak Dephut dan APHI Adiwarsita belum lagi akur. Perang dingin di antara mereka rupanya belum juga reda.

Bukan rahasia lagi, memang, bahwa antara Dephut dan APHI Adiwarsita sejak cukup lama berlangsung perang dingin. Kedua belah pihak cenderung tak saling mempedulikan. Konon akibat perbedaan visi dalam menghadapi masalah bersama -- kondisi hutan dan kehutanan nasional semakin memprihatinkan -- komunikasi di antara mereka sudah nyaris membeku.

Itu pula yang disebut-sebut menjadi faktor pemicu perpecahan di kalangan pengusaha kehutanan nasional sendiri: APHI terbelah -- satu dipimpin Adiwarsita, dan satu lagi dikomandani Sugiono. Masing-masing merasa lebih legitimate sebagai organisasi pengusaha hutan. Masing-masing juga merasa on the right track seraya menafikan pihak lain. Karena itu, masing-masing berjalan menurut konsep atau visi versi mereka sendiri.

Jujur saja, itu sungguh kita sesali. Bagaimanapun, revitalisasi sektor kehutanan mustahil bisa tercapai tanpa semua stake holders bahu-membahu dalam berbagai aspek dan langkah. Konsep pemikiran yang coba dirumuskan hajatan APHI Adiwarsita ini, misalnya, tak akan banyak bermakna kalau itu hanya menjadi milik kelompok mereka sendiri. Terlebih konsep tersebut jelas menuntut penjabaran di level kebijakan pemerintah.

Karena itu, kita amat menyayangkan bahwa hajatan penting yang digelar APHI Adiwarsita tak dihadiri pejabat Dephut. Padahal kehadiran mereka niscaya bisa diharapkan menjadi titik yang mencairkan kebekuan atau perang dingin di antara mereka.

Tetapi kenyataan itu justru mengindikasikan bahwa sebelum bicara soal revitalisasi sektor kehutanan, semua stake holders sejatinya perlu terlebih dulu melepaskan diri dari sekat masing-masing. Segala ego, gengsi, atau apa pun yang mengondisikan stake holders kehutanan ini terkotak-kotak dalam semangat sempit perlu disingkirkan.

Itu teramat mendesak -- karena kondisi hutan dan kehutanan nasional telanjur terpuruk di titik nadir. Kalau saja semangat rekonsiliasi di kalangan semua stake holders tak segera dilakukan, niscaya sektor kehutanan tak akan pernah bisa bangkit lagi. Bahkan apa yang terjadi justru sebaliknya: kehutanan kita semakin terpuruk hingga ke titik paling menggetirkan.
Haruskah?***
Jakarta, 2 Juli 2004

Tidak ada komentar: