20 Juli 2004

Perppu Kehutanan

Wajar sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) penggiat masalah lingkungan seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Greenomics Indonesia, juga Jaringan Advokasi Tambang kecewa dan marah terhadap keputusan DPR, pekan lalu. Maklum karena DPR menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1/2004 tentang Perubahan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan untuk disahkan menjadi undang-undang.

Jajaran LSM kecewa dan marah karena keputusan DPR itu sama dengan membenarkan keputusan pemerintah memberikan izin operasi terbuka pertambangan bagi 13 perusahaan di kawasan hutan lindung sebagaimana tertuang dalam Keppres No 41/2004. Padahal UU Nomor 41/1999 tegas melarang aktivitas seperti operasi pertambangan dilakukan di kawasan hutan lindung.

Hutan lindung memang seharusnya mati-matian dipertahankan. Hutan lindung adalah kawasan paru-paru alam yang amat kita butuhkan demi kualitas hidup kita tetap terjaga baik dan sehat. Karena itu, hutan lindung jangan sampai terjamah kegiatan apa pun yang nyata-nyata potensial merusak keberadaannya.

Paket Perppu Nomor 1/2004 plus Keppres Nomor 41/2004 sendiri memang memiliki implikasi amat serius terhadap lingkungan. Secara ekonomi, sebagaimana perhitungan Greenomics, aktivitas pertambangan di kawasan hutan lindung ini akan menorehkan kerusakan lingkungan senilai Rp 70 triliun per tahun. Tapi yang lebih kita sesali adalah kerugian yang bersifat intangible berupa hilangnya keragaman hayati. Itu sungguh niscaya dan tak bisa dinilai secara ekonomi.

Justru itu, seharusnya DPR bukan merestui keputusan pemerintah memberikan izin operasi terhadap 13 perusahaan pertambangan. DPR seharusnya mengoreksi dan meluruskan sikap pemerintah tersebut.

Karena itu pula, tidak berlebihan bahwa kalangan LSM penggiat masalah lingkungan pun segera melayangkan gugatan class action, di samping mengadu ke Mahkamah Konstitusi, berkaitan dengan keputusan pemerintah menerbitkan Perppu Nomor 1/2004 yang memberikan izin pertambangan di kawasan hutang lindung ini. Langkah tersebut sama sekali bukan merupakan sikap ngeyel, melainkan lebih menegasikan tanggung jawab dan tekad menyelamatkan keberadaan hutan lindung yang nyata-nyata terancam rusak oleh aktivitas pertambangan.

Kita menghargai tekad pemerintah sebagaimana diutarakan Menhut M Prakosa yang mengaku akan melakukan pengawasan ekstra ketat terhadap kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung ini. Tapi kita tidak mendapat penjelasan tentang langkah konkret mengenai strategi dan mekanisme pengawasan tersebut.

Lagi pula, jujur saja, kita skeptis bahwa pemerintah mampu melakukan fungsi pengawasan di lapangan. Kita bercermin saja pada masalah penebangan liar (illegal logging). Melihat penebangan liar terus saja marak, tak bisa tidak kita beroleh kesan bahwa pemerintah jelas-jelas gagal melakukan fungsi pengawasan dan penindakan hukum.

Karena itu, kita amat tidak yakin bahwa kerusakan lingkungan yang ditimbulkan kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung bisa diminimalisasi. Malah kita berkeyakinan bahwa kerusakan itu sungguh niscaya. Kita tahu, kegiatan pertambangan sama sekali tak bisa ramah terhadap lingkungan. Kegiatan pertambangan sungguh bersifat destruktif.

Bahkan kalaupun kegiatan itu dilakukan sungguh-sungguh sesuai rambu-rambu atau prosedur sekalipun, sifat destruktif operasi terbuka pertambangan tetap saja kental dan pekat. Jadi, teramat sulit membayangkan bahwa dampak kegiatan pertambangan terhadap lingkungan ini bisa diminimalisasi.

Karena itu, kita tidak bisa memahami sikap pemerintah maupun DPR menyangkut penerbitan Perppu Nomor 1/2001 ini. Kita menangkap kesan bahwa substansi masalah yang selama ini menjadi bahan perdebatan -- yakni bahwa kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung dilarang undang-undang -- telah diabaikan demi kepentingan pragmatis: mengakomodasi kepentingan perusahaan pertambangan.

Mungkin pemerintah miris oleh ancaman kalangan perusahaan pertambangan yang merasa dirugikan oleh tumpang-tindihnya areal kerja mereka dengan kawasan hutan lindung. Yakni bahwa mereka akan mengajukan gugatan ke arbitrase internasional dengan nilai tuntutan kerugian yang sungguh naudzubillah -- sekitar Rp 188 triliun.

Angka itu jelas bukan main besar. Begitu juga ancaman kalangan perusahaan pertambangan menggulirkan gugatan ke arbitrase internasional ini tak bisa kita anggap main-main. Justru itu, bisa dibayangkan risiko yang harus kita tanggung jika gugatan itu benar-benar mereka lakukan -- dan ternyata kemudian kita kalah: bukan saja keuangan negara seketika dibuat babak-belur, melainkan kegiatan investasi kita pun semakin carut-marut. Dunia internasional niscaya kian beroleh kesan bahwa kegiatan investasi di negeri kita tak berkepastian.

Tetapi jika benar itu yang menjadi pertimbangan, kenapa izin operasi pertambangan di hutan lindung hanya diberikan kepada 13 perusahaan? Tidakkah sekian puluh perusahaan lain, yang juga sama-sama merasa dirugikan akibat areal kerja mereka tumpang-tindih dengan kawasan hutan, akan tetap mengajukan gugatan ke arbitrase internasional?***
Jakarta, 20 Juli 2004

Tidak ada komentar: